Sabtu, 26 Desember 2009

STANDAR GANDA HAM BARAT

Adalah tanggal 10 Desember 1948 dianggap sebagai 'The Declaration of the Human Rights'. Menurut seorang penulis, pemikir dan sejarawan Islam, Tharîq al-Basyarî, ide HAM tersebut telah didahului oleh Amerika pada perang kemerdekaan atas Inggris pada bulan Juli 1776. Mereka menyatakan bahwa manusia telah dilahirkan oleh ibu mereka dalam keadaan setara dan menyatakan bahwa hak manusia itu terimplementasi dalam tiga hal: hak hidup, kebebasan dan persamaan. Setelah itu pecahlah Revolusi Perancis pada bulan Agustus 1789 yang memploklamirkan HAM: manusia dilahirkan merdeka dan memiliki kesamaan hak (Jurnal Al Resalah, edisi (12) Rajab-Sya`bân 1425 H/Agustus-September 2004: 2)


Itulah, menurut M. Fethullah Ghulan: seorang pemikir Turki sebagai bentuk "demokrasi liberal modern". Ia menyatakan: "Democratic ideas stem from ancient times. Modern democratic liberal was born in the American (1776) and French Revolution (1789-1799) (The Fountain, Turkey, M. Fethullah Ghulan: Essays, Perspectives, Opinions, 2002: 15). Tanggal 10 Desember 1948 itulah kemudian dijadikan sebagai tonggak sejarah HAM di muka bumi. Meskipun sebenarnya ide tersebut adalah hasil 'plagiarisme' dari ungkapan Umar bin Khattâb.


Sejatinya, berbicara seputar HAM sama artinya berbicara tentang 'Persamaan Hak'. Namun, hak tersebut di Barat tidak 'mengedepankan' 'esensi' persamaan itu sendiri. Diskriminasi malah banyak terjadi di mana-mana. Hingga hari ini, isu diskriminasi di Barat tetap terjadi. Sebut saja di Amerika: orang kulit hitam tidak akan pernah diperlakukan sama dengan kulit putih. Para wanita tetap akan menjadi 'makhluk kelas dua' dalam kehidupan sosial. Fenomena ini justru mengindikasikan bahwa Barat sejatinya mengidap penyakit 'dualism-democratic' (demokrasi-dualisme): di satu sisi ingin mengekspor ide HAM, namun di sisi lain justru mereka yang menginjak-injak HAM mereka sendiri.


Negeri Paman Sam adalah negeri yang paling getol menyuarakan demokrasi, kebebasan, memerangi terorisme, menghancurkan diktatorisme, dsb. Namun pada kenyataannya, merekalah aktor utama dalam melanggar kode etik demokrasi, memasung kebebasan di Irak, dan menciptakan terorisme. Ide-idenya dibungkus dalam mega-proyek The Great Middle East.


Contoh lain adalah apa yang terjadi di Uni Eropa. Sampai hari ini, Turki merupakan negara yang dijadikan 'bulan-bulanan': niatnya untuk bergabung ke dalam Uni Eropa masih tergantung. Alasannya hanya satu: Tukri pernah menjadi pusat kemajuan Islam, Turki Utsmani. Tentu saja 'kebebasan' di sini tidak terealisasi, dan dapat dipastikan bahwa Barat adalah 'negara ular' yang banyak 'menanam tebu dibibir mereka'.


Islam sebagai alternatif

Rasanya tidak salah ketika Murad Wilfried Hofmann menyatakan bahwa 'Islam the Alternative'. Manusia dalam Islam, menurut Ghulan, dengan mengutip hadits Nabi saw seperti "gigi sebuah sisir" (the teeth of a comb). "Islam doesn't discriminate based on race, color, age, nationality, or physical tratis. The Prophet say: "You are all from Adam, and Adam is from earth. O servants of God, be brothers (and sisters). Oleh karena itu, menurutnya, siapa yang lebih dahulu lahir, dialah yang akan memiliki banyak kekayaan (wealth) dan kekuasaan (power) dari yang lainnya...(Ibid). Fakta ini tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, bahkan oleh negara Barat sendiri.


Dalam sebuah karyanya tentang negara Pakistan, Rushprook Williams menyatakan tentang tradisi Islam: "Tradisi-tradisi Islam mencakup prinsip-prrinsip persamaan diantara roh manusia di hadapan Allah dan mengakui hubungan darah persaudaraan dunia tanpa melihat ras ataupun warna kulit. Sebagaimana juga mengakui adanya pembelaan dan perlindungan terhadap yang lemah dari pihak yang berlaku zalim kepadanya, membantu orang-orang yang kekurangan, kehilangan haknya, dan orang mengorbankan kehidupannya dalam menempuh jalan yang lurus." Hal ini juga diakui oleh penulis terkenal J. Weills di dalam bukunya yang terkenal Short History of the World. Ia menyatakan: "Tampaknya unsur kekuatan ketiga termanifestasi dalam tekad bulat umat Islam yang menyatakan bahwa kaum beriman adalah bersaudara yang memiliki persamaan di hadapan Allah, meskipun warna kulit, asal-usul dan tempat tinggal mereka berbeda-beda." (Rajae `Atheya, `Alamiyah al-Islâm, 2003: 240-241).


Rasanya tidak ada lagi alasan yang harus dikemukakan. Dunia harus menolak HAM Barat yang sudah 'lapuk' dan ketinggalan zaman itu. Bukankah dua pemikir Barat di atas sudah representatif untuk mengakui HAM dalam Islam? Wa syahida syâhidun min ahlihâ = dan seorang saksi dari keluarganya memberikan kesaksian (Qs. 12: 26).

MUSLIM BENAR VERSUS MUSLIM SALAH

Muslim Benar versus Muslim Salah, demikian saya memberi judul refleksi dalam mengkounter judul refleksi Luthfi Assyaukanie dalam bukunya “Islam Benar versus Islam Salah” (Kata Kita, 2007).

Dalam bukunya itu, Luthfi menulis: “Pada akhir tahun 2005, mantan presiden Abdurrahman Wahid menulis sebuah artikel di Wall Street Journal dengan judul Right Islam versus Wrong Islam. Tulisan itu kemudian diterbitkan ulang di beberapa koran ternama seperti New York Times dan Washington Post, serta dimuat di ratusan website penting. Tulisan Gus Dur itu sangat relevan untuk kita baca dan renungkan kembali akhir-akhir ini di saat kaum Muslim terbelah dalam menyikapi penangkapan teroris Abu Dujana. (Luthfi, 2007: 129).

Menurutnya juga, ajakan Gus Dur itu sangat penting di tengah kebingungan dan pertanyaan banyak orang tentang kekerasan yang dilakukan dengan mengatasnamakan Islam. Bagi Gus Dur, masalah itu sangat sederhana jawabannya. Islam pada dasarnya adalah agama damai. Kata “Islam” sendiri berarti perdamaian. Dengan demikian, jika ada ajaran atau perilaku yang bertentangan dengan makna dasar Islam tersebut, maka itu pasti keliru. (ibid: xvi).

Hemat saya, penggunakan istilah “Islam Benar, Islam Salah” adalah salah kaprah. “Islam” tetap benar, tidak ada Islam salah. Sejak zaman nabi Adam as hingga nabi Muhammad SAW Islam tetap agama yang benar, tidak ada Islam salah. Yang salah adalah cara pandang seorang Muslim terhadap Islam. Sehingga muncullah istilah Islam “teroris”, radikal, liberal, progresif, substantif, dlsb. Semuanya mengatasnamakan Islam. Padahal itu bukan Islam, hanya cara pandang terhadap Islam. Islam tetap satu: “Islam Benar”. Maka, lebih tepat menurut saya adalah istilah “Muslim Benar, Muslim Salah” (Right Muslim versus Wrong Muslim).

Luthfi juga terlalu melebar ketika membahas “kebenaran dan kesalahan”. Dia mencatat: “Kebenaran dalam agama bersifat relatif, karena ia dibatasi oleh logika dan paradigma pemeluk agama tertentu. Apa yang orang-orang Islam yakini benar belum tentu benar menurut orang-orang Kristen. Begitu juga apa yang dianggap benar menurut orang-orang Kristen bisa jadi salah menurut orang-orang Islam. Namun demikian, ada kebenaran dalam agama yang tidak relatif, yakni kebenaran yang mengandung nilai-nilai universal. Kebenaran ini bukan hanya benar menurut kaum Muslim, tapi juga benar menurut penganut agama-agama lain, bahkan menurut orang-orang yang tidak beragama.

Salah satu contohnya adalah kemerdekaan untuk beragama dan tidak beragama. Ini adalah nilai moralitas dalam Islam yang sangat tinggi dan universal. Al-Qur’an secara jelas menyebut hal ini dengan mengatakan “tidak ada paksaan dalam beragama” (QS. 2: 256) dan “bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS. 109: 6). (ibid: xii-xiii).

Tentu saja demikian. Konsep tauhid dalam Islam jelas berbeda dengan konsep ketuhanan dalam Kristen dan Yahudi. Tidak mungkin disatukan konsep “Trinitas” (Kristen), Yahweh (Yahudi), Trimurti (Hindu) dengan konsep “Tauhid Islam”. Agama manapun akan menolaknya dengan keras. Jadi kebebasan beragama atau bahkan memilih atheisme bukan dalam ranah nilai-nilai universal. Itu adalah bentuk “toleransi tingkat tinggi” yang ada di dalam Islam. Itu sudah ada sejak Nabi SAW berada di Mekah.

Qs. 2: 256 pun sejatinya merupakan “sindiran tegas” bagi mereka yang benar-benar berakal. “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama (Islam), karena sudah tampak dengan jelas ‘kebenaran’ (al-rusyd) dari ‘kesesatan’ (al-ghayy). Jika dipenggal ayatnya sampai laa ikraaha fiddiin, benar bahwa tidak ada paksaan dalam memasuki agama Islam. Tetapi Allah memberikan sindiran bagi siapapun yang ingin menentukan satu pilihan (agama), bahwa jalan hidayah (petunjuk) itu sudah jelas dari jalan kesesatan. Tinggal orang yang berakal sehat saja yang mau memilih agama apa sesuai seleranya. Islam adalah agama universal, bukan lokal apalagi dianggap tidak sesuai dengan zaman. Konsep rahmatan lil alamin adalah bukti bahwa Islam adalah agama universal (universe), untuk seluruh isi alam ini.

Dan Qs. 109: 6 adalah bukti ketegasan dalam “berakidah”. Dalam bermuamalah (interaksi sosial) Islam mengajarkan tidak ada ‘pilih bulu’. Silahkan bermuamalah dengan Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Chu, dslb. Tapi dalam berakidah, konsepnya mutlak: lakum dinukum wa liyadin). Tidak ada tawar menawar di sana. Ini bukan nilai-nilai universal.

Menurut Luthfi, fenomena Islam Salah telah ada sejak lama, namun baru menjadi gerakan massif sejak era modern, khususnya sejak tahun 1970an. Pada tingkat intelektual, fenomena ini ditandai dengan terbitnya buku-buku ideologis yang ditulis oleh para aktivis semacam Abul A‘la al-Maududi, Sayyid Qutb, dan Muhammad Qutb. Pada level praktis, Islam Salah disuarakan oleh gerakan politis semacam Ikhwanul Muslimin, Jamaah Islamiyah, dan Al-Qaeda. (ibid: xv).

Jadi, menurut Luthfi al-Maududi, Sayyid Qutb dan Muhammad Qutb adalah contoh real dari Islam Salah. Ikhwan, Jamaah Islamiyah dan Al-Qaeda juga bentuk dari Islam Salah. Kita tahu, bahwa tokoh-tokoh yang dianggap oleh Luthfi sebagai Islam Salah adalah orang-orang yang kritis terhadap peradaban Barat. Sayyid Qutb pernah ke Amerika. Sepulangnya dari sana dia mengkritik negeri Paman Sam habis-habisan. Luthfi tidak inginkan itu. Maka dia korek pemikiran Sayyid Qutb lewat Ma‘alim fi al-Thariq-nya. Dia juga menolak pemikiran Muhammad Qutb (adik kandung Sayyid Qutb) lewat bukunya Jahiliyah al-Qarn al-‘Isyrin (Jahiliyah Abad ke-20) (ibid: 160 dan 157). Luthfi baru ‘lega’ jika kedua pemikiran Muslim terkenal itu membungkukkan punggung mereka di hadapan peradaban Barat.

Luthfi mungkin lupa, bahwa Sayyid Qutb adalah seorang “as-syahid” yang berani dan mati-matian mempertahankan konsep pemikiran dan idenya. Bisa jadi keteguhan dirinya tidak sebanding dengan ‘biji sawi’ keimanan kita. Seorang pemikir progresif Mesir, Dr. Hassan Hanafi, dalam tulisannya al-Tafsir wa Mashalihul Ummah mencatat bahwa metode penafsiran Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur’an merupakan metode “reformis” (al-ishlah). Artinya, Hanafi mengakui bahwa Sayyid Qutb seorang “reformis”. Dan tidak adil jika perjalanan intelektualitas Qutb hanya dilihat sepotong-sepotong. Hanya lewat Ma‘alim fi al-Thariq. Sunnguh tidak adil.

Pemikiran Qutb bisa ditelusuri lewat al-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an, sebagai mukaddimah tafsir Fi Zhilal al-Qur’an. Konsep wordview Islamnya dapat diselisik dalam al-Tashawwur al-Islamiy wa Muqawwimatuhu. Konsep ekonominya dapat dilihat dalam buku kecilnya Tafsir Ayat al-Riba (Tafsir ayat-ayat Riba). Visi Islamnya jelas tergambar dalam al-Mustaqbal lihadz al-Din (Masa Depan Milik Agama Ini/Islam). Kehidupan Qutb jangan dilihat sepotong-sepotong, karena akan melahirkan ketidakadilan konklusi.

Muhammad Qutb juga demikian. Tidak bisa hanya dilihat dari Jahiliyah al-Qarn al-‘Isyrin. Konsep pembaruan Muhammad Qutb dapat dibaca dalam bukunya yang sangat mencerahkan, Qadhiyyah al-Tanwir fi al-‘Alam al-Islamiy (Isu Pencerahan di Dunia Islam). Di dalamnya dia mengusulkan pembaruan cara pandang terhadap akidah, politik, ekonomi, dlsb. Pemikirnnya yang mencarahkan, dapat juga dibaca dalam bukunya paling anyar, al-Mughalathat.

Kita benar-benar harus bersikap jurdil (jujur dan adil). Tidak boleh pakai sistem gebyah uyah. Dengan modal ‘jurdil’ ini, kita dapat melihat mana “Muslim Benar” dan mana “Muslim Salah”. Menyalahkan pemikiran orang secara membabi-buta, saya kira, merupakan gambaran pribadi “Muslim Salah”, karena dalam dirinya sudah ada perasaan sebagai “Islam Benar”.

(Medan, Kamis, 24 Januari 2008)

ISLAM PERDANA ATAWA ISLAM ORIENTALIS

Dalam bukunya “Islam Benar versus Islam Salah” (Depok: Kata Kita, 2007), Luthfi menulis satu refleksi dengan judul ‘Islam Perdana’. Apa yang dia maksud dengan “Islam Perdana”?

“Selama ini, kajian-kajian Islam awal, saya lebih suka menyebutnya sebagai “Islam Perdana”, banyak dilakukan oleh para orientalis. Sejak awal abad ke-19, para orientalis berusaha menyuguhkan asal-usul agama ini dari berbagai aspeknya, dari sejarah Muhammad (Arthur Jeffrey), sejarah Al-Qur’an (Thedor Noldeke), sejarah Hadis (Nabia Abott), dan sejarah Fikih (Joseph Schacht). Karya yang agak komprehensif tentang Islam perdana adalah buku Montgomery Watt berjudul The Formative Period of Islamic Thought.” (Luthfi, 2007: 41).

Luthfi seakan ‘menyesal’ karena banyak kajian tentang Islam perdana yang dilakukan kaum Muslim umumnya bersifat apologetis. Menurutnya, jika ada persoalan serius yang dikhawatirkan bakal mengganggu ketentraman beragama, kajian itu akan dihentikan atau ditafsirkan sedemikian rupa agar sesuai dengan keyakinan ortodoksi Islam. Dari kacamata ilmiah, pendekatan seperti ini tentu saja tak ada gunanya sama sekali.

Tapi dia memberikan pujian kepada beberapa penulis --yang menurut saya liberal, bahkan merusak konstruk pemikiran Islam--yang dia kagumi sebagai ‘orang-orang yang objektif’ dalam mengkaji Islam.

Luthfi menulis:

“Untunglah situasi ini berubah. Sejak beberapa tahun terakhir mulai muncul sarjana Muslim yang memiliki dedikasi kesarjanaan yang tinggi dan tumbuh dari latar belakang Islam yang kuat. Para sarjana Muslim seperti Mahmud al-Qumni, Khalil Abdul Karim, dan Zakaria Ouzon, adalah beberapa nama di antara puluhan nama lain yang mulai mengkaji dan membaca Islam perdana. (ibid: 43).

Tentang Ouzon, dia menulis: “Trilogi yang ditulis Ouzon, Jarimah al-Syafi‘i, Jarimah al-Bukhari, dan Jarimah al-Sibawaih, merupakan studi rintisan tentang para tokoh penting era pembentukan Islam yang dilakukan lewat pendekatan kritis. Selama ini tulisan-tulisan tentang Imam al-Syafi‘i atau Imam al-Bukhari dilakukan secara tidak kritis sama sekali. Buku-buku tentang tokoh-tokoh Islam ditulis sebagai karya hagiografi ketimbang biografi.” (ibid: 43).

Saya melihat, Luthfi memposisikan dirinya sebagai pengkaji ‘Islam Perdana’ lewat tangga-tangga yang dibangun oleh para orientalis dan pemikir liberal Arab. Dia lebih banyak menuduh kaum Muslim yang mengkaji sejarah awal Islam, ketimbang mengkritisi kajian beberapa sarjana Barat (orientalis) tentang Islam. Maka tidak heran, jika dia menyanjung Jeffrey, Schacht, Noldeke, dan Abott. Alih-alih mau bersikap “kritis” malah terjebak dalam logika para muqallid.

Jeffrey (1893-1959) bukan hanya menulis tentang Nabi Muhammad SAW. Sumbangannya yang sangat mahal, menurut para orientalis lain, adalah kajiannya tentang Al-Qur’an. Dia dianggap sebagai salah seorang orientalis yang menerapkan biblical criticism ke dalam studi Al-Qur’an dengan sederetan orientalis lainnya. (Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis, (Bandung: GIP, I, 2005). Begitu juga dengan William Montgomery Watt.

Jeffrey berpendapat bahwa sebagaimana manuskrip-manuskrip kuno Bibel memiliki berbagai perbedaan yang mendasar antara yang satu dan yang lainnya, dia menyimpulkan sebenarnya terdapat berbagai mushaf tandingan (rival codices) terhadap mushaf ‘Utsmani. (Adnin, ibid: 53). Sama dengan Jeffrey, Noldeke, seorang orientalis asal Jerman juga melakukan studi tentang sejarah Al-Qur’an, Geschichte des Qorans. Sama dengan studi Jeffrey, studi Noldeke pun tidak luput dari usaha ambisius dan tendensius. Kebanyakan para orientalis --menurut Luthfi sedikit jumlahnya--mengkaji Al-Qur’an tidak murni ilmiah. Mayaritas mereka menyembunyikan ‘niat busuknya’ lewat tameng ‘studi ilmiah’.

Kajian Abott tentang hadis tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya. Ignaz Goldziher dan Schacht, dalam mengkaji hadis lebih ‘ilmiah’ dibanding Abott. Meskipun begitu, Schacht juga masih ‘mengekor’ kepada studi Goldziher. Pandangan Goldziher tentang sunnah Nabi SAW pun “keliru”. (Lihat, Fazlur Rahman, Islam, (terj): Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1984: 54). Setelah Goldziher adalah D.S. Margoliouth, yang kemudian, menurut Rahman, diasumsikan oleh Schacht yang menyatakan bahwa nabi hampir-hampir tidak meninggalkan warisan apapun selain Al-Qur’an. (Lihat, Rahman, ibid: 56-57).

Di Indonesia, pemikir yang ditembus otaknya oleh orientalis adalah Harun Nasution. Gaya orientalisnya dalam memandang sunnah dapat dilihat dalam bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Penerbit UI Press, cet. kelima, 1985, jilid 1, hlm. 28-30). Tentang hadis Nabi SAW, Harun mencatat:

Karena hadits tidak dihafal dan tidak dicatat dari sejak semula, tidaklah dapat diketahui dengan pasti mana hadits yang betul-betul berasal dari Nabi dan mana hadits yang dibuat-buat. Abu Bakar dan Umar sendiri, walaupun mereka sezaman dengan Nabi, bahkan dua sahabat terdekat dengan Nabi tidak begitu saja menerima hadits yang disampaikan kepada mereka. Abu Bakar meminta supaya dibawa seorang saksi yang memperkuat hadits itu berasal dari Nabi, dan Ali bin Abi Thalib meminta supaya pembawa hadits bersumpah atas kebenarannya.

Dalam pada itu, jumlah hadits yang dikatakan berasal dari Nabi bertambah banyak sehingga keadaannya bertambah sulit membedakan mana hadits yang oriosinil dan mana hadits yang dibuat-buat. Diriwayatkan bahwa Bukhari mengumpulkan 600.000 (enam ratus ribu) hadits, tetapi setelah mengadakan seleksi, yang dianggapnya hadits orisinil hanya 3.000 (tiga ribu) dari yang 600.000 itu, yaitu hanya setengah persen.

Tidak ada kesepakatan kita antara umat Islam tentang keorisinalan semua hadits dari Nabi. Jadi berlainan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang semuanya diakui oleh seluruh umat Islam adalah wahyu yang diterima Nabi dan kemudian beliau teruskan kepada umat Islam. Oleh karena itu, kekuatan hadits sebagai sumber ajaran-ajaran Islam tidak sama dengan kekuatan Al-Qur’an.”

Pendapat dan kajian orientalis tentang sunnah pun sudah ‘dibabat habis’ oleh Prof. Dr. M.M. Al-A‘zami dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature (Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Pustaka Firdaus, III, 2006), [terj]: Prof. Dr. H. Ali Mustafa Ya’kub, M.A). Karyanya ini pun dipuji oleh Prof. A. J. Arberry dari Universitas Cambridge, Inggris. Beliau memberikan catatan: “No doubt the most important field of research, relative to the study of Hadith, is the discovery, verification, and evaluation of the smaller collections of Traditions antedating the six canonical collections of al-Bukhari, Muslim and the rest. In this field, Dr. Azmi has done pioneer work of the highest value, and he has done it according to the exact standards of scholarship. The thesis wich he persented, and for which Cambridge conferred on him the degree of Ph.D., is in my opinion one of the most exciting and original investigations in this field of modern times.” (Azami: vi).

Studi Abott tentang pernikahan Rasul SAW dan A‘isyah dijadikan sebagai landasan orang-orang tak faham sunnah dalam mencerca Islam. (Lihat Abott, Aishah-The Beloved of Mohammed, Al-Saqi Books, London, 1985). Inikah yang dimaksud oleh Luthfi sebagai kajian yang baik tentang kajian terhadap ‘Islam Perdana’?

Kajian-kajian Ouzon terhadap Imam Syafi‘i, Imam al-Bukhari dan Sibawaih pun hanya dipenuhi oleh tuduhan tak berdasar. Sama dengan Nasr Hamid Abu Zayd dalam bukunya al-Imam al-Syafi‘i wa Ta’sis al-Aydiyulujiyah al-Wasathiyyah. Yang ada hanya tuduhan saja. Kata-kata yang digunakan oleh Ouzon pun adalah “jarimah”, kejahatan atau tindak kriminal. Apa benar ketiga ilmuwan hebat Muslim tersebut dianggap melakukan tindak kriminal karena telah membangun ilmu Islam (Ushul Fiqh, hadis dan Nawhu)? Sebelum Ouzon pun sudah terbit di Mesir (2004) satu buku yang berjudul Saqatha Sibawaih.

Tapi itulah, para pemikir (orientalis atau Muslim) yang disukai oleh Luthfi. Setiap pemikir yang mencoba mengobok-obok ajaran Islam, tetap dianggap sebagai pemikir ‘yang baik’. Karena menurutnya, memberikan kajian yang bermanfaat bagi ‘Islam Perdana’. Maka dipujilah para penulis liberal dan Marxis, seperti Ouzon, Nasr Hamid, Khalil Abdul Karim. Mungkin karena tulisannya bersifat “refleksi”, Luthfi tak bisa melihat pendapat para orientalis itu secara kritis dan objektif. Islam yang disuguhkan Luthfi dalam refleksinya adalah “Islam Orientalis”, bukan ‘Islam Perdana’ yang diinginkannya.

(Medan, Kamis, 24 Januari 2008)

JANGAN "HIJRAH" DARI AL-QUR`AN

Bagi Mukmin sejati, Al-Qur’an adalah way of life: pandangan dan rambu-rambu kehidupan yang sangat sempurna. Oleh karenanya, di dalamnya tidak ada keraguan (Qs. Al-Baqarah [2]: 2) sedikitpun. Sehingga, dia benar-benar menjadi petunjuk bagi orang-orang Mukmin yang “takwa”. Yaitu orang-orang yang tidak berlaku sombong; senantiasa bersikap qana‘ah (bersyukur terhadap nikmat Allah s.w.t. dengan menerima apa adanya); menjaga lisan dan lambungnya agar tidak menjadi ‘kran’ dan ‘lumbung’ harta yang syubhat (samar-samar hukumnya); dan mereka yang memiliki keyakinan yang menggumpal kepada Allah s.w.t.

Al-Qur’an adalah samudera yang ‘tak bertepi’. Dalam bukunya Jawahir al-Qur’an, Hujjatul Islam, Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H) bertanya: “Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah s.w.t., yang menurunkan segala pembuka kitab, serta shalawat kepada para Rasul-Nya yang menjadi pengunci setiap kitab; maka saya benar-benar menggugah tidur Anda, wahai orang yang selalu tekun membaca dan mengamalkan kajian Al-Qur’an. Anda, yang selalu menyelami makna-makna realitas dan globalnya, sampai kapan Anda mengarungi samudera sambil memejamkan mata dari keanehan-keanehannya? Ataukah Anda menaiki puncak-puncak gelombang untuk melihat keajaiban-keajaibannya? Apakah Anda telah mengembara sampai jazirahnya hingga menemui keindahannya? Apakah Anda menyelami dan mengarungi kedalamannya, untuk menemukan mutiaranya? Ataukah mata Anda tertutupi dari mutiara-mutiaranya, karena terpesona oleh ombak dan gemuruh fenomenanya? Sudah sampaikah kepada Anda, bahwa Al-Qur’an merupakan samudera maha luas?

Pertanyaan-pertanyaan di atas begitu menggelitik. Bahkan, kalau kita hayati kita akan merasa “malu”. Sangat malu! Benar-benar memalukan dan memilukan. Karena interaksi kita dengan Al-Qur’an tidak begitu ‘mesra’. Bahkan menyentuh kulitnya pun bisa jadi belum. Bagaimana mungkin kita akan berlayar di tengah-tengah samudera Al-Qur’an. Padahal, sebaik-baik seorang Muslim menurut Rasulullah s.a.w. adalah: “Sebaik-baik kalian adalah yang “mempelajari” Al-Qur’an dan “mengajarkannnya” kepada orang lain.” (HR. Bukhari, Tirmidzi dan Ahmad). Anehnya, dewasa ini justru umat Islam banyak yang acuh tak acuh terhadap Kitab Suci mereka. Al-Qur’an bagi sebagian mereka tidak jauh beda dengan “koran”. Na‘udzu billah min dzalik! Bahkan mereka lebih intens dan sering berinteraksi dengan “koran” ketimbang Al-Qur’an. Bagaimana mungkin pertanyaan-pertanyaan Imam al-Ghazali di atas dapat dijawab dengan jujur. Lalu apakah penyebab dari fenomena umat Islam yang semakin “jauh” dari Al-Qur’an ini? Jawabannya adalah: “Hijrah Al-Qur’an”. Ya, umat Islam sudah banyak yang ‘hijrah’ dari Al-Qur’an.

‘Hijrah’ dari Al-Qur’an?

Ya, ini fenomena umum dari umat Islam. Fenomena umat yang menyedihkan ini pernah diadukan oleh Rasul s.a.w. kepada Allah s.w.t. Kata beliau: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah ‘hijrah’ dari Al-Qur’an ini.” (Qs. Al-Furqan [25]: 30).

Hijrah dari Al-Qur’an ada tiga modelnya. Pertama, ‘hijrah’ bacaan. Banyak umat Islam sudah enggan untuk membaca Al-Qur’an. Walaupun membaca, belum tentu benar bacaannya. Jika benar bacaannya, belum tentu diamalkan. Meski diamalkan, belum tentu ikhlas dalam mengamalkannya. Banyak kemungkinan memang. Dan kemungkinan itu jelek semuanya. Membaca Al-Qur’an merupakan ‘gerbang’ awal untuk berinteraksi dengannya. Adalah mustahil dapat berinteraksi dengan Al-Qur’an, jika pintunya tidak pernah kita buka. Padahal, satu huruf Al-Qur’an, kata Nabi s.a.w., akan diganjar dengan “sepuluh” kebaikan oleh Allah s.w.t. “Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitab Allah (Al-Qur’an), ia memperoleh satu kebaikan, dan kebaikan itu diganjar sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan ‘Alif, Laam, Miim’ itu satu huruf. Melainkan Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi). Bahkan, menurut beliau, “Orang yang membaca Al-Qur’an dan dia pandai, dia bersama para malaikat yang baik dan mulia.” (HR. Tirmidzi). Masya Allah! Subhanallah!

Maka, merugilah orang-orang yang tidak mau menghampiri Kitabullah yang mulia ini. Jin saja ikhlas menghampiri Al-Qur’an (Qs. Al-Jinn [72]: 1), lalu kenapa kita tidak mau membacanya. Padahal Al-Qur’an itu untuk manusia (Qs. Al-Rahman [55]: 2).

Kedua, ‘hijrah’ tadabbur. Membaca saja tidak cukup. Bacaan harus diikuti dengan tadabbur-Qur’ani. Agar bacaan Al-Qur’an itu meresap ke dalam relung qalbu, maka ia tidak boleh hanya sekedar lewat lisan atau bibir pembacanya. Ia harus merayap masuk ke dalam qalbu. Agar sekat-sekat qalbu yang ‘kering’ dan kosong diisi oleh cahaya Kalamullah, ‘Firman Allah’ yang penuh keagungan dan mukjizat tak tertandingi ini. Untuk apa tadabbur Al-Qur’an? Menurut Allah s.w.t. agar kita benar-benar memahami secara mendalam bahwa Kitabullah ini seluruh ayat dan kandungannya benar-benar serasi dan harmonis. Tidak ada satu ayatpun yang kontradiktif (Qs. Al-Nisa’ [4]: 82). Selain itu, tadabbur-Qur’ani itu akan membuka ‘gembok-gembok’ qalbu (Qs. Muhammad [47]: 24). Dengan begitu, kita akan semakin yakin bahwa Al-Qur’an benar-benar the last testement. Yakni, perjanjian terakhir antara Allah, Nabi dan manusia. Sehingga, tidak ada yang lebih sempurna (kamil) dan komprehensif (syamil) dalam menyentuh sisi dan lini kehidupan manusia selain Al-Qur’an: sejak alam arwah (azali) hingga alam akhirat. Sungguh, bacaan Al-Qur’an yang diiringi dengan tadabbur mendalam akan melahirkan syawq (kerinduan mendalam) terhadapnya. Dengan begitu, qalbu akan terus merasakan siraman cahaya Ilahi lewat kitab-Nya. Sungguh indah memang!

Ketiga, ‘hijrah’ amal. Ya, bacaan dan tadabbur yang dilakukan oleh seorang Mukmin tidak akan berarti apa-apa jika tidak diaplikasikan dalam kancah kehidupan nyata. Apa yang telah dibaca dan ditadabburi harus diamalakan, jangan dibiarkan mengambang dan tak membumi. Di dalam Al-Qur’an ada perintah dan larangan. Ada rukun Islam. Baca, tadabburi lalu amalkan. Di dalamnya dijelaskan rukun iman. Baca, hayati, tadabburi dan amalkan. Di dalam Kitabullah ada perintah berbuat adil, ihsan (baik tanpa batas), melaksanakan amanah (jabatan), dll. Maka, baca, tadabburi kemudian amalkan. Kalamullah ini adalah gambaran “alam” dan “manusia”. Maka ia harus dibaca, ditadabburi dan diamalkan. Jika tidak, maka misi Allah tidak akan sempurna. Padahal Al-Qur’an berbicara tentang dua kitab besar: pertama, kitab terbuka, yaitu kosmos (al-kaun) alias alam. Dan kedua, Al-Qur’an. Jembatan antara keduanya adalah seorang “manusia Mukmin-Muttaqin”. Fungsi “manusia Mukmin-Muttaqin” adalah adalah khalifatullah (wakil Allah) di bumi. Maka dia harus melakukan ‘imaratul ardhi, memakmurkan bumi. Perintah itu tertuang dengan sempurna di dalam Kitabullah. Maka fungsi manusia tidak akan sempurna kecuali mengamalkan kandungan Al-Qur’an. Khalifah itu tidak boleh: curang, penzina, pemabuk, tidak adil, tidak sopan, tidak shalat, tidak peka lingkungan, tidak syahadat, tidak zakat, tidak puasa, tidak haji. Dan itu dapat diambil dari Kitabullah. Maka, jangan pernah mau ‘hijrah’ dari Al-Qur’an. Siapa saja yang ‘hijrah’ darinya, berarti menjauhi Rasul s.a.w. Dan tanpa dia sadari telah menjauhi Allah s.w.t. Pada gilirannya, hidupnya akan hampa: kering kerontang tak bermakna. Alangkah meruginya! Wallahu a‘lamu bi al-shawab. [Q].

KEWAJIBAN LEBIH BANYAK DARIPADA WAKTU

Semoga judul refleksi kali ini tidak membuat ‘nafas’ pembaca tersengal-sengal. Saya juga tidak bermaksud untuk membuat ‘lelah’ jiwa Anda semua. Demikianlah adanya.

Ini adalah satu realitas hidup. Dimana kita hidup dalam ‘lingkaran waktu’ yang sangat terbatas. Orang Arab menyatakan, “Al-Wajibat aktsaru minal Awqat” (‘Kewajiban kita lebih banyak dibandingkan waktu yang tersedia’). Ini perlu direnungkan. Prinsipnya adalah “menghargai” waktu. Bagaimana waktu yang singkat ini dapat di-manage sedemikian rupa, agar benar-benar terinvestasi dengan baik.

Pernah Anda mendengar orang yang mengeluh ketika mendengar seruan azan? “Aduh, kok cepat sekali sih azan Maghribnya!” kata seorang teman saya. Apa yang dia katakan adalah benar. Kenapa? Karena dia melaksanakan shalat Ashar pada pukul 18.00 WIB, sementara shalat Maghrib pukul 18.15 WIB. Bagaimana tidak cepat waktu itu.

Di sisi yang lain, ada teman yang mengeluhkan waktu karena dia merasa kekurangan. “Waduh, mana pekerjaan belum selesai lagi,” keluhnya kesal ketika lonceng berbunyi dan tugas dia belum selesai tapi harus diantar ke meja dosen.

Kewajiban “lebih banyak” dari waktu….

Rasulullah SAW adalah orang yang sangat mengerti ‘kaidah’ itu. Jika berjalan, menurut para sahabatnya, seolah-olah bumi ini digulirkan untuk beliau. Karena sanking cepatnya beliau berjalan, seolah-olah ada urusan penting yang harus segera diselesaikan. Kanjeng Nabi SAW tidak pernah terlihat tenang. Dia terus memikirkan Islam. Memikirkan umat ini. Beliau terus mencari ‘celah’ untuk menyampaikan dakwahnya kepada umat manusia. Bahkan, menjelang wafatnya yang dia ingat bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa selain “ummati, ummati”, umatku, umatku. Ya Rasulullah, semoga shalawat dan salam Allah tercurah kepadamu selalu.

Kaidah penting itu sering kita ubah dan kita balik. Kita merasa waktu ini begitu panjang dan banyak. Maka kita pun selalu berleha-leha. Pekerjaan yang menumpuk biasanya ‘dapat’ kita selesaikan lewat sistem “SKS” (Sistem Kebut Semalam). Tentu saja hasilnya tidak akan maksimal. Karena kita anggap waktu kita banyak, maka yang terjadi adalah penundaan amal. Shalat diakhirkan, karena –menurut kita–waktunya masih panjang. Bayar hutang ditangguhkan, karena kita ‘yakin’ dapat hidup kita 1000 tahun lagi.

‘Umar ibn ‘Abdul Aziz pernah tidak jadi istirahat, karena ditegur oleh anaknya. Ketika ingin merebahkan tubuhnya di atas dipan, anaknya bertanya, “Ayahanda, kenapa istirahat?” “Ia, tubuh ayah lelah sekali setelah seharian keliling melihat aktivitas dan keadaan umat ini,” jawab ‘Umar dengan mantap. “Ayah, cepat bangun dan keliling lagi. Lihat urusan umat!” kata anaknya. “Ayah mau rehat sebentar saja, setelah itu baru keliling lagi,” jawab ‘Umar. Apa kata anaknya kemudian? “Apakah ayah bisa menjamin katika ayah bangun masih hidup dan bisa melihat urusan umat Islam?” ‘Umar terperanjat mendengar pertanyaan anaknya ini. Dia langsung melompat dan memakai gamisnya kembali untuk keliling melihat keadaan umat Islam. Subhanallah!

Dimana posisi kita dibanding khalifah yang mulia itu? Sungguh, pekerjaan dan tugas kita untuk umat ini lebih banyak dibanding waktu yang disediakan oleh Allah. Semua itu butuh manajemen yang baik dan rapi. Jika kita, kita tidak akan pernah menghargai waktu yang ada. Allah sudah menggariskan bahwa manusia –siapapun orangnya–akan merugi, jika hari-harinya selama di dunia ini tidak diisi dengan: [1] peningkatan iman kepada Allah; [2] beramal saleh. Amal yang baik untuk kemaslahatan agama (Islam), keluarga, bangsa dan negara bahkan untuk dunia; [3] saling menasehati dalam menapaki ‘rel’ kebenaran; dan [4] saling menasehati dalam menetapi kesabaran. (Qs. al-‘Ashar: 1-3).

Dakwah Islam butuh orang-orang yang menghargai waktu. Pekerjaan butuh waktu yang di-manage dengan baik dan rapi. Amal kita pun butuh disediakan waktu yang cukup. Sekarang kita baru sadar, bahwa sudah banyak waktu yang kita hamburkan. Sekarang kita baru tahu, bahwa kewajiban kita seabrek. Sementara waktu hanya 24 jam saja yang disediakan oleh Allah. Itu belum dipotong waktu untuk mandi, makan, minum dan istirahat. Semoga Anda setuju dengan refleksi ini. Wallahu a‘lamu bi al-shawab.[]

“Ya Allah, jadikankah kami orang-orang yang sadar akan waktu. Bimbing kami agar terus dapat istiqamah beramal. Semoga waktu yang singkat di dunia ini menjadi waktu yang bernas, full dengan amal, penuh dengan kesalehan dan sarat ibadah kepada-Mu”

(Medan, Minggu: 04 Nopember 2007)

SEMUA WAJIB SEDEKAH

Suatu hari, seorang sahabat yang bernama Abu Musa Al-Asy‘ari hadir ke Masjid Nabawi untuk menemui Rasulullah SAW. Karena biasanya, seusai shalat Kanjeng Nabi SAW memberikan tausiah kepada para sahabatnya.

Kali itu, Nabi SAW dalam halaqahnya, berkata kepada para sahabatnya, “Setiap Muslim harus bersedekah!”

Seorang sahabat kemudian bertanya, “Wahai rasul, engkau kan tahu tidak semua orang memiliki harta. Bagaimana dia bersedekah?”

“Hendaknya dia bekerja, kemudian hasilnya untuk dirinya sendiri dan untuk bersedekah!” jawab Rasul.

“Bagaimana jika dia tidak mampu bekerja?” tanya orang itu dengan rasa ingin tahu.

“Hendaknya dia memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan pertolongan!” tegas Nabi SAW.

“Wahai rasul, bagaimana jika itu pun dia tidak mampu melakukannya?” tanya orang itu dengan penuh rasa ingin tahu.

“Hendaknya dia mengerjakan kebajikan dan menghindarkan kejelekan! Hal itu, bagi seorang Muslim, bernilai sama dengan sedekah!” jawab Rasulullah SAW.

Apa yang terbersit dalam benak Anda setelah membaca dialog Kanjeng Nabi SAW dengan seorang sahabatnya itu? Mungkin macam-macam yang muncul. Yang jelas, menurut saya, sedekah itu gampang. Pilihannya cuman satu di antara dua: like or dislike. Mau atau tidak. Ya, itu saja.

Kita juga sepakat dengan pendapat sahabat tersebut bahwa tidak semua orang diberi kelebihan rezki oleh Allah SWT. Maka alternatifnya adalah: kita harus bekerja sekuat tenaga kita. Hasilnya, kita makan dan kelebihannya dapat kita sedekahkan. Jika ini pun tidak mampu kita lakukan, kita harus jeli terhadap orang di sekeliling kita. Mungkin ada nenek tua yang ingin menyebrang, kita harus sigap dan cepat tanggap. Seberangkanlah dia ke tepi jalan. Mungkin ada orang yang minta diangkatkan kopernya ke atas angkot, kita harus buru-buru menolongnya. Ini juga cara sedekah, kata Kanjeng Nabi SAW.

Jika itu pun tidak bisa, maka yang harus kita lakukan adalah “berbuat baik”. Apa saja, yang penting baik. Dan, kita harus dapat memelihara jiwa kita agar tidak terjerumus kepada perbuatan yang tidak baik. Karena itu adalah bentuk “maksiat” kepada Allah SWT. Itu akan diganjar oleh Allah sebagai “sedekah”. Sungguh, pintu amal terbuka lebar dalam Islam. Sungguh, kita benar-benar ‘wajib’ sedekah.

(Medan, Kamis: 8 Nopember 2007)

“Ya Allah, ingatkan kami bahwa dalam harta kami ada hak orang lain. Tegur kami bekerja itu ibadah, hasilnya bisa disedekahkan. Ya Rabb, beri kami kesempatan untuk dapat menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Ya Allah, jadikan hati kami condong kepada kebaikan dan selalu terpelihara dari hal-hal yang mengotorinya”

ZAKAT BUKU

Syeikhul Islam, Ibnu Taimiyah, pernah bertutur, “Orang yang tidak memiliki harta untuk membeli buku yang ingin ia kuasai, ia boleh mengambil bagian dari zakat guna membeli buku yang ia perlukan untuk kemaslahatan agama dan dunianya.”

Subhanallah! Sungguh bijaksana “Syeikhul Islam” ini. Benar-benar visioner. Beliau faham benar bahwa umat ini harus maju lewat buku. Beliau sadar bahwa masalah buku memang masalah urgen yang tak berujung. Karena kebutuhan terhadap buku sejalan dengan roda kemajuan zaman.

Seharusnya, masalah buku menjadi perhatian pemerintah kita. Bahkan, bila perlu, dianggarkan dalam bentuk ‘zakat’ buku seperti yang diusulkan oleh Ibnu Taimiyah. Agar apa? Agar seluruh umat ini menjadi “umat” yang berkualitas, karena memiliki fasilitas untuk itu. Baytul Hikmah di Bagdad adalah sarana penting di era khalifah al-Makmun untuk menunjang kemajuan umat. Perpustakaan umat Islam di Cordova (Spanyol) dan Alexandria (Mesir) merupakan bukti kepedulian umat terhadap peradaban: ‘peradaban buku’. Umat harus terus diajak ‘dialog lewat buku-buku’.

‘Dialog’ Buku....?!

Masalah kebodohan umat Islam semakin hari semakin “akut” dan “kronis”. Karena umat sudah menjauhkan diri dari sunnatullah, membaca. Membaca buku adalah sunnatullah yang sejak awal digariskan lewat konsep Iqra’ (Qs. al-‘Alaq: 1-5). Maka tidak mengherankan jika umat Islam di Abad Pertengahannya (ketika Eropa dan Barat berada di Era Kegelapan/The Dark Age) mencapai masa The Golden Age, hingga mampu menguasai setengah dunia. Bebebarapa jantung peradaban Islam, seperti Cordova, Granada, Bagdad, dan Mesir menjadi pusat studi orang-orang Eropa dan Barat. Sekarang justru terbalik 190 derajat. Umat Islam malah terperosok ke dalam The Dark Age. Benar-benar gelap. Karena pintu sinar dan cahaya peradaban itu ditutup rapat-rapat. Dialog dengan buku sudah hilang --baik disengaja maupun tidak. Umat Islam klasik maju karena dua (2) buah buku agung: Al-Qur’an dan Sunnah. Kedua buku ini menjadi KMB (Konferensi Meja Buku) mereka ketika itu. “Musyawarah Buku”, menurut Khalid Abou El-Fadl memang harus dilakukan. Jika tidak, umat ini akan mati digilas zaman.

‘Zakat’ Buku!!!

Ya, kita harus menyisakan sebagian rezki kita sebagai book fund. Umat harus diberi zakat khusus, zakat buku. Pemerintah harus sadar bahwa tidak semua orang memiliki finansial yang cukup untuk membeli buku. Pemerintah jangan menambah kalkulasi ‘Anak Yatim’ di negeri. Negara juga harus tahu bahwa banyak orang pintar di negeri ini. Tapi mayoritas kepintaran mereka terbentur dengan ketiadaan dana. Dinding utama yang menghambat mereka adalah duit. Zakat buku benar-benar mendesak dan harus segera dianggarkan. Agar anak-anak negeri ini tidak menjadi ‘Anak Yatim’. Karena “yatim” yang hakiki itu adalah “kebodohan” dan “amoral”. “Laysal yatimu man mata waliduhu. Walakin al-yatima yatimu al-‘ilmi wa al-adabi” (Yang disebut yatim itu bukan yang meninggal orangtuanya. Tetapi yatim yang sebenarnya adalah ‘yatim ilmu dan moral’).

Bagaimana tidak menjadi yatim, jika dana untuk membeli buku saja tidak ada. Bagaimana anak negeri tidak amoral, jika mereka tidak pernah membaca dan mendapat ajaran tentang etika dan moral yang baik (al-akhlaq al-karimah). Maka, “zakat buku” harus benar-benar terealisir, jika tidak ingin terjadi bencana yang lebih besar di negeri ini. “Zakat buku”. Ya, zakat buku. Thanks so much for your briliant idea Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.[] (Medan, Rabu: 14 Nopember 2004).

“Ya Allah, kami sadar bahwa sejak awal Engkau telah mengajarkan ‘Iqra’. Kami tahu bahwa Engkau menginginkan kami menjadi umat yang ‘beradab’ dan berperadaban. Tapi kami selalu malas, malas membaca. Kuatkan dan teguhkan qalbu kami dalam membaca Kitab-Mu dan sunnah rasul-Mu. Semoga kami mampu ‘berdialog’ dan ‘bermusyawarah’ dengan buku-buku itu: buku-Mu, buku rasul-Mu dan buku-buku yang berbicara tentang buku-Mu dan buku rasul-Mu”. Amin

ORANG BODOH

“Setiap orang yang berbuat maksiat kepada Allah adalah orang “bodoh”. Setiap orang yang takut kepada-Nya adalah orang “alim” dan taat kepada-Nya. Ia menjadi orang yang “bodoh” karena kurangnya rasa takut kepada Allah. Sebab, jika rasa takutnya kepada Allah sempurna dan baik, niscaya ia tidak akan berbuat maksiat dan dosa kepada-Nya.”

(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)

Saya gemetar membaca penjelasan Syaikhul Islam ini. Ya, mengigil rasanya tubuh ini. Betapa tidak. Selama ini saya adalah orang yang amat bodoh. Hampir setiap menit bahkan detik jiwa ini berbuat dosa kepada Allah. Bisa jadi jasad kita luput dari perbuatan maksiat, tapi qalbu siapa yang menjamin. Sungguh benar-benar bodoh diri ini.

Orang bodoh adalah orang yang tak mengenal maqam (kedudukan) Rabb-nya. Karena dia tidak tahu maqam-Nya, maka dia berani menyimpang dari petunjuk-Nya. Ujungnya, seluruh larangan-Nya biasa kita kerjakan. Perintah-Nya pun selalu kita langgar. Perbuatan dosa tidak pernah ‘alpa’ dalam setiap sendi kehidupan kita. Kebiasaan buruk kita menjadi kebutuhan yang harus terus dipenuhi.

Harus diakui, memang sulit menjadi orang “alim”, tapi bukan mustahil. Yang penting adalah ada ‘azam (keinginan kuat) dalam qalbu, insya Allah akan tercapai. Karena hanya orang alim lah yang mengerti kedudukan Tuhannya. Dia akan merasa takut kepada-Nya, sehingga mampu memenej jiwa (nafsu)nya dengan baik. Orang ini lah yang dijanjikan oleh Allah untuk meraih surga-Nya, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempatnya.” (Qs. al-Nazi‘at [79]: 40-41).

Sedangkan orang “bodoh”, akan terus mengumbar hawa nafsunya. Yang ada dalam benaknya hanya kehidupan dunia. Akhirat tidak masuk dalam file otaknya. Akhirnya, dia tidak takut-takut untuk berbuat tiran dan mengejar kehidupan dunia. Allah tidak pernah hadir dalam kehidupannya. Paling banter, ‘Allah’, dalam dirinya, bersemayam di ‘langit ketujuh’. Allah tidak pernah ‘membumi’, apalagi singgah di qalbunya. “Adapun orang-orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka neraka adalah tempat tinggalnya.” (Qs. al-Nazi‘at [79]: 38-39). Na‘udzu billah mindzalik.

Saya jadi menerawang jauh kepada nasib saudara-saudara kita yang belum menikmati indahnya hidayah Allah. Mereka masih dimarginalkan oleh hawa nafsu. Saya jadi menggidik jika ingat kisah para pelacur. Mereka begitu ‘ikhlas’ menjajakan dirinya hanya untuk memuaskan nafsu binatangnya. Ada juga memang yang “terpaksa”. Tapi berapa persenkah yang terpaksa itu? Rata-rata ‘ikhlas’ kok. Menyedihkan. Karena mereka tak mengenal Allah. Memilukan, karena mereka menjadi orang bodoh. Sekiranya mereka sadar bahwa suatu saat mereka akan dicampakkan oleh orang-orang yang pernah ‘menikmatinya’, mungkin mereka tidak menjadi bodoh. Saya yakin mereka akan kembali kepada-Nya. Bersimpuh dan memohon ampun di hangat dekap-Nya.

Lihatlah negeri kita yang masih dipadati oleh orang-orang bodoh. Penjambret, perampok, pembunuh, pezina, pemabuk, koruptor, hakim bejat, artis kurang ajar, dukun santet, kiyai cabul, ustadz jahat, dslb. Mereka seluruhnya adalah club orang-orang bodoh. Mereka berbuat amoral karena memang bodoh. Mereka berzina, karena memang bodoh. Mereka tak mengenal Tuhan. Akhirnya rasa takut kepada-Nya “tercerabut” dari dalam qalbu mereka. Pada gilirannya, perbuatan dosa adalah ‘sarapan pagi’ mereka, atau ‘musik dan ritme’ kehidupan mereka.

Kita hanya bisa berdoa. Semoga mereka menyadari kebodohan mereka. Semoga cahaya hidayah Allah masuk ke dalam qalbu mereka.

“Ya Allah, sang pembolak-balik qalbu! Kukuhkanlah qalbu-qalbu kami dalam meniti ajaran agama-Mu dan meniti ketaatan kepada-Mu. Maha Suci Engkau wahai Rabb; sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim. Ampuni kebodohan kami ya Rabb. Bimbing kami dalam meniti tangga-tangga orang-orang alim. Tangga orang-orang yang mengerti dan faham akan maqam-Mu”. Amin.

(Medan, Rabu: 14 Nopember 2007)

ZIKIR ITU PENAWAR HATI

Semua orang pasti pernah dirundung “kesedihan”. Rasa sedih adalah sunnatullah. Ia tak mungkin ditolak dan tak dapat dihindarkan. Ia harus dihadapi dengan penuh perhitungan dan kesabaran.

Harus dipahami bahwa kaidah kehidupan dunia adalah “tidak abadi”. Semuanya pasti mengalami perubahan. Dan yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Dunia tidak akan lepas dari pasangan: sedih-gembira, tangis-tawa, mulia-hina, kaya-miskin, sehat-sakit, dan mudah-susah. Semuanya dipergilirkan dalam kehidupan manusia. Dan setiap manusia ‘wajib’ mengalaminya, tanpa kecuali. Kanjeng Nabi SAW pun biasa dirundung rasa sedih, karena memang hak prerogatif Allah untuk membuat seseorang tertawa dan menangis (Qs. al-Najm: 43).

Artinya, silahkan ‘dinikmati’ setiap episode kehidupan yang diberikan kepada kita. Semuanya sudah diatur lewat “skenario” Allah. Kaidahnya adalah: langit tak selamanya mendung. Dan bumi tak selamanya dilanda kemarau. Semua pasti bergilir.

Petuah ‘Ikrimah…

Seorang sahabat, ‘Ikrimah pernah memberikan petuah berharga, Laysa ahadun illa wa huwa yafrah wa yahzan. Walakim ij‘alu al-farah syukran wa al-hazan shabran (Tidak ada seorangpun yang tidak dilanda oleh rasa gembira dan sedih. Tapi, jadikanlah kegembiraan itu sebagai pengukur rasa syukur, dan kesedihan sebagai barometer kesabaran). Artinya, jika kita ditimpa kenikmatan: hidup senang, rezki lapang, pekerjaan mudah, dsb, maka itu harus kita jadikan sebagai ajang untuk bersyukur kepada ‘Sang Khaliq’. Dia-lah yang memberikan segalanya kepada kita.

Dan ketika kita ditimpa kesedihan: ditinggal salah seorang anggota keluarga, kehilangan benda yang kita cintai, ditimpa oleh penyakit, dlsb, maka itu harus kita jadikan sebagai ‘pupuk’ kesabaran. Dengan begitu, kesenangan tidak membuat kita lupa daratan. Dan, kesedihan tidak membuat kita mudah mencari ‘kambing hitam’. Subhanallah!

Penghapus Dosa-dosa Kecil…

Allahu Akbar! Ini kabar gembira dari Kanjeng Nabi. Beliau menyatakan, “Segala yang menimpa seorang Muslim: rasa capek (lelah), rasa sedih (khawatir terhadap masa depan) dan sedih (terhadap masalah yang menimpa), rasa sakit, problematika hidup yang membuat murung, bahkan tertusuk duri sekalipun dijadikan oleh Allah sebagai ‘penghapus dosa’ (kecil)nya.” (HR. al-Bukhari-Muslim). Subhanallah! Tentunya, segala bentuk ketidakenakan tersebut dihayati dan ‘dinikmati’ dengan penuh perhitungan dan kesabaran. Dengan demikian, tidak ada bencana yang dianggap sebagai “bencana”. Semuanya bakal menjadi anugerah terbaik bagi yang merasakannya.

Berzikirlah!

Menurut Allah, tidak ada yang mampu meredam gundah dan gelisah kecuali zikir kepada-Nya. Tidak ada yang mampu menghilangkan rasa sedih, selain mengingat keagungan dan kemahaan Allah SWT. Dengan zikir, hati setiap orang yang bermasalah akan menjadi “tentram” dan “tenang”. Ini adalah konsep Qur’ani-Ilahi. “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram karena ‘zikrullah’. Sungguh, dengan zikrullah hati-hati menjadi tentram.” (Qs. al-Ra‘du: 28). Tentunya zikir bukan sembarang zikir. Ia harus didasari dengan penuh keimanan kepada Allah. Ia benar-benar yakin bahwa segala problem –apapun bentuknya–tetap ada solusinya di sisi Allah.

Kesedihan akan sirna dan hilang jika seluruhnya dikembalikan kepada-Nya. Oleh karena itu, orang-orang beriman, menurut Allah, ada orang yang selalu “PD” dalam hidupnya, dan tidak pernah merasa sedih. Karena mereka yakin, keimanan mereka semakin memperkokoh posisinya di sisi Allah. (Qs. Ali ‘Imran: 139).

La tahzan, kata Allah SWT. La tahzan, kata rasul-Nya. Kata Abdullah al-Qarni pun La tahzan! (Medan, Rabu: 14 Nopember 2007).

“Ya Allah, Engkau Maha Tahu betapa lemahnya hati kami. Kesenangan yang Engkau berikan kadang tak membuat kami bersyukur. Kesedihan yang menimpa kami kadang menjadikan kami tak sabar. Jadikan hati kami hati yang bersinar, sabar, syukur dan senantiasa bergembira. Jadikan kami sebagai ahli zikir, agar selalu bisa mengingat-Mu di kala senang dan susah. Ya Rabb, hilangkan kesedihan kami dan ganti dengan kemudahan dan kesenangan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa”

PINTU-PINTU KEBAIKAN

Dari Mu‘adz ibn Jabal ra. bahwa dia berkata, “Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku tentang satu amal yang dapat memasukkanku ke dalam surga, dan menjauhkanku dari api neraka!” Baginda Rasulullah menjawab, “Engkau telah bertanya tentang perkara yang besar. Sesungguhnya ini sangat mudah, bagi siapa yang dimudahkan oleh Allah. Engkau menyembah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatupun; mendirikan shalat; mengeluarkan zakat; puasa Ramadhan dan melaksanakan haji.” Kemudian beliau melanjutkan, “Maukah engkau aku tunjukkan? Puasa itu adalah ‘perisai’ (benteng), sedekah itu menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan air dan shalat seseorang di tengah malam yang sepi.” Kemudian beliau membaca: [lambung-lambung mereka jauh dari ranjang-ranjang mereka] sampai kepada ayat: [mereka kerjakan] (Qs. al-Sajadah: 16-17). Kemudian beliau berkata lagi, “Maukah aku tunjukkan penghulu satu urusan, tiangnya dan titik akhirnya? Aku menjawab, “Ya wahai Rasulullah.” “Pangkal (kepala) urusan itu adalah “Islam”, tiangnya “shalat” dan puncaknya adalah “jihad”.” Maukah aku tunjukkan ‘rem cakram’ untuk semua itu? “Ya, jawabku”, kata Mu‘adz. Rasulullah kemudian memegang lidahnya dan berkata, “Cukuplah engkau memelihara ini.” Wahai Rasulullah, apakah kita akan disiksa akibat dari lisan kita? “Wahai, Mu‘adz, tidak seorangpun yang disungkurkan wajahnya ke dalam api neraka, melainkan karena buah tidak mampu menjaga lisannya.” (HR. al-Tirmidzi).

Lihatlah, bagaimana Mu‘adz menyampaikan pesan Kanjeng Nabi kepada kita. Sangat detail dan lugas. Tidak ada penghalang di sana. Siapa yang mau menjemputnya, niscaya dia akan sukses dalam menapaki hidup dan kehidupan di atas dunia yang fana ini. Itu lah pintu-pintu kebaikan yang sudah dibuka oleh Rasulullah kepada kita lewat da‘i yang dikirim ke Yaman, Mu‘adz ibn Jabal.

Shalat

Shalat adalah tiang agama. Orang yang meninggalkan shalat sama artinya menghancurkan agama, demikian jelas Baginda Rasulullah SAW. Bahkan, amalan yang pertama kali akan dihisab di Hari Kiamat adalah shalat kita. Kalau shalat kita baik, seluruh amalan kita akan dianggap baik oleh Allah. Jika sebaliknya, amalan kita –yang lainnya–tidak ada artinya. Anehnya, masih ada orang yang tidak mau melakukan shalat. Sungguh sombong orang ini. Sepertinya dia tidak butuh ‘sujud’ kepada Allah. Padahal, sujud itu akan dikembalikan kepada kita.

Zakat…

Zakat itu artinya tumbuh dan berkembang. Juga, artinya zakiyah dan tazkiyahi: bersih dan pembersihan. Jika harta kita ingin tumbuh dan berkembang, dan bersih lagi membersihkan maka kita harus mengeluarkan sebagian harta kita. Itu lah ciri orang yang bertakwa (takut kepada Allah) [Qs. Al-Baqarah [2]: 3). Dewasa ini banyak bermunculan ‘Qarun-Qarun Modern’. Semuanya menolak untuk mengeluarkan zakat. Seandainya Abu Bakar al-Shiddiq berada di tengah-tengah kita, niscaya mereka akan diperangi. Kenapa? Karena mereka berani memisahkan ‘zakat’ dari shalat. Menolak mengeluarkan zakat, sama artinya menutup pintu pengembangan dan berkah untuk harta kita.

Puasa Ramadhan…

Puasa ini datangnya sekali dalam setahun. Meskipun begitu, masih ada yang tidak mau melakukannya. Sungguh merugi orang yang tidak mau melaksanakannya. Karena puasa ini adalah ‘jembatan ketakwaan’ (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Jadi, orang yang tidak mau melaksanakannya sama artinya tidak mau didik oleh Allah untuk menjadi orang yang bertakwa. Sungguh sombong dan congkak orang ini. Padahal, training-nya hanya satu bulan, tidak lebih. Kita sudah memakan dan mengkonsumsi rezki Allah selama 11 bulan. Ketika diminta untuk berhenti –itu pun hanya di siang hari–untuk tidak makan-minum, banyak dari kita yang menolaknya. Puasa itu ‘junnah’: perisai atau benteng, kata Nabi. Siapa yang menolak perintah ini, berarti menolak imunisasi iman dan takwanya.

Sedekah…

Ya, perbanyaklah bersedekah. Sedekah itu menghapuskan kesalahan. Luar biasa. Bahkan, sedekah itu mampu ‘mengobati’ penyakit. Kata orang Nabi SAW, Daawu mardhaakum bi al-shadaqah, ‘Obatilah orang yang sakit dari kalian dengan sedekah’.

Haji…

Bagi yang sudah cukup hartanya, sambutlah seruan Allah ke rumah suci-Nya, Ka‘bah. Baitullah al-Haram di Makkah al-Mukarramah adalah tempat puncak rukun Islam. Bagi yang sudah sampai nominal kekayaannya, jangan tunggu-tunggu lagi. Katakanlah, “Labbaika Allahumma labbaik”. Ya Allah, aku datang menyambung panggilanmu ya Allah. Rasakan, bagaimana dekatnya dengan Allah di sana, di rumah-Nya. Kita bebas meminta dan menyampaikan hasra qalbu kita.

Tahajjud…

Ini kebiasaan orang-orang saleh terdahulu. Sungguh luar biasa shalat ini. Qiyamullah, demikian biasa disebut oleh orang. Saya menganalogikannya dengan SLJJ (Saluran Langsung Jarak Jauh). Saluran ini jarang dipakai oleh orang. Orang lebih memilih saluran yang biasa digunakan: Shubuh, Zhuhur, Maghrib, Isya. Mungkin ditambah dengan shalat rawatib lainnya. Tapi SLJJ ini sangat langka yang menggunakannya. Padahal, fasilitas ini sangat ampun dalam ‘menembus’ kabut dan hijab ilahi. Bukan main-main, shalat ini mampu memberikan pintu masuk dalam menyelesaikan problem (Qs. Al-Isra’ [17]: 79). Kata Allah, shalat ini mampu memberikan: [1] tambahan ibadah; dan [2] mengangkat pelakunya ke derajat yang sangat terpuji.

Jihad…

Jangan saklek dan monoton dalam memaknai Jihad. Jihad di medan perang sangat penting. Negara saudara kita seperti Palestina, Irak dan Chechnya, misalnya membutuhkan banyak mujahid. Umat Islam harus jihad ke sana. Seluruh umat Islam? Tidak mesti. Tidak wajib. Kita juga punya kewajiban jihad yang lain di negara dan lingkungan kita. Seorang pelajar, jihadnya adalah belajar dan baik dan sungguh-sungguh. Seorang suami, jihadnya adalah mencari nafkah yang halal untuk anak dan istrinya. Seorang da‘i jihadnya adalah menyampaikan risalah Allah kepada umat manusia.

Menjaga Lisan…

Ini lah intinya. Siapa saja yang mampu menjaga dan memelihara lisannya, maka dia akan selamat dunia-akhirat. Shalat, zakat, puasa, haji, sedekah dan seluruh amal kita jika tidak didampingi oleh lisan yang baik, maka itu akan sia-sia. Betapa tidak, kita kadang ‘tidak sabar’ untuk menceritakan seluruh kebaikan yang kita lakukan kepada orang lain. Padahal belum tentu baik. Shalat kita belum tentu khusyuk. Zakat kita belum tentu bersih. Sedekah kita belum tentu sempurna. Haji kita belum tentu halal hartanya. Terkadang kita umbar ke mana-mana amal kita itu. Kita ingin dianggap paling saleh, paling dermawan, paling banyak zakatnya dan paling kuat tahajjudnya. Kita naik haji pun kadang ingin agar penghuni dusun kita datang berbondong-bondon ke rumah kita untuk ‘mencium tangan kita’. Kenapa? Karena kita bangga menjadi ‘Wak Haji’. Haji jadi bahan pameran amal. Hati-hati, ‘mulutmu adalah harimaumu’, kata orang tua kita dahulu.

Jangan tutup pintu-pintu kebaikan itu. Mari kita sambut. Mari kita ucapkan terima kasih kepada Mu‘adz, da‘i Rasulillah, yang telah membukan pintu-pintunya untuk kita. Semoga pintu itu tidak tertutup, sampai kita mamu memasuki seluruhnya. Amin ya Rabb.

(Medan, Senin: 19 Nopember 2007)

DARI ABU HAYYAN AL-TAWHIDI

Alhamdulillah, hari ini (Selasa, 20/11/2007) saya mendapat nikmat yang luar biasa dari Harunan Rasyid. Dia baru saja menyelesaikan studinya di Universitas Al-Azhar, Kairo. Dia memberikan majalah favorit saya, Majalah Al-Azhar. Majalah ini terbit setiap bulan di Mesir. Dan saya hampir tidak pernah absen untuk membelinya.

Dalam rubrik Tharâ’if dan Mawâqif saya membaca kalam hikmah dari Abu Hayyan al-Tawhidi. Oleh karena itu, saya ingin mengulasnya menjadi sebuah artikel sederhana dalam catatan refleksi kali ini.

Dalam kalam hikmahnya Abu Hayyan bertutur:

{*} Haram bagi qalbu yang diterangi oleh cahaya Ilahi untuk berpikir di luar keagungan Allah.

{*} Haram bagi “lisan” yang terbiasa zikir kepada Allah untuk ‘zikir’ kepada selain Allah.

{*} Haram bagi yang belum melihat kebaikan, kecuali berasal dari Allah, untuk bersikap loba (tamak) terhadap selain Allah.

{*} Haram bagi yang merasakan ‘lezatnya’ munajat kepada Allah untuk bermunajat kepada selain Allah.

{*} Haram bagi yang dimuliakan oleh service Allah untuk ‘tunduk-bersimpuh’ kepada selain service Allah.

{*} Haram bagi yang bersikap “lembut” (hangat) kepada Allah untuk bersikap lembut (hangat) kepada selain Allah.

Subhanallah! Luar biasa. Benar-benar kalam hikmah yang luar biasa. Menggugah dan inspiring. Jika kita hampiri kalam al-Tawhidi ini, kita akan menemukan betapa dalam sindiran yang dikandungnya. Al-Tawhidi ingin menjelaskan kepada kita bahwa itulah realita manusia. Bisa jadi kita termasuk di dalamnya.

Lupa Keagungan Allah…

Itulah kebiasaan buruk kita. Kita lupa bahwa Allah sudah menjelaskan di dalam kitab-Nya (Al-Qur’an) bahwa DIA itu Maha Agung. Setiap selesai membaca kitab-Nya kita selalu mengakhirinya dengan shadaqallahu al-‘Azhim, ‘Maha Benar Allah (yang Maha Agung) dengan segala firman-firman-Nya’. Tapi ironi. Kita jarang sekali merasakan keagungan-Nya. Bibir sudah capek, komat-kamit, membaca Al-Qur’an, tapi qalbu kita terus gersang. Kenapa? Mungkin kita belum terbiasa untuk merasakan cahaya Ilahi yang masuk ke dalam qalbu kita. Sehingga qalbu kita masih saja ‘kering-kerontang’. Bahkan –bisa jadi–lesu dan akhirnya mati. Na‘udzu billahi min dzalik. Ini hukumnya ‘haram’ kata al-Tawhidi.

Zikir untuk Musuh-musuh Allah…

Pernahkah kita berzikir untuk Allah? Jawabanya bisa “ia” bisa “tidak”. Semoga saja “ia”. Kita harus jujur, kita lebih sering ‘zikir’ untuk selain Allah. Kita zikir untuk anak-anak, istri, kebun, ternak, pekerjaan, kantor dan ladang serta tanaman kita. Kita lupa untuk zikir kepada yang memberikan itu semua. Kita terbiasa untuk mengingat kehidupan, tapi selalu melupakan kematian. Kita kejar dunia yang fana, kita lupakan kehidupan abadi kita. Kita berlomba-lomba untuk membangung ‘istana duniawi’, tapi sering menghancurkan ‘istana keabadian’ di sisi Allah sana. Inilah sindiran Abu Hazim kepada Sulaiman ibn ‘Abd al-Malik ketik bertanya kepadanya. Kita lupa bahwa zikrullah itu penentram hati, penenang jiwa. Zikir itu adalah “Tombo Ati”. Lalu kenapa kita malah zikir untuk selain-Nya?

Loba (Tamak)…

Kita terkadang melebihi binatang ternak. Kita lebih rakus dari sapi. Kita lebih buas dari singa. Kita lebih bejat dari anjing. Kita loba terhadap kehidupan duniawi. Sebaliknya, qalbu kita ‘miskin’ terhadap segala yang berbau ukhrawi. Akhirnya, kita meninggalkan Allah secara perlahan-lahan. Pada gilirannya, kita malah membuat ‘tuhan-tuhan’ baru di lubuk hati kita. Tuhan sudah kita marginalkan. Menyedihkan. Memalukan sekaligus memilukan.

Munajat Untuk Makhluk…

Munajat kepada Allah itu ‘lezat’, nikmat dan sangat berkesan. Kalau bisa, munajat itu membangun konsistensi qalbiyah. Agar kenikmatan dan kelezatan munajat kepada Allah itu tidak mudah dipalingkan kepada selain-Nya. Realitnya memang demikian. Kita sering ‘mengadu’: bersimpuh, merintih, bahkan meradang di hadapan ‘tuhan-tuhan’ versi kita. Padahal ‘tuhan-tuhan’ itu tidak dapat memberikan manfaat dan tak mampu mendatangkan bahaya apapun kepada kita.

Menjadi Budak Makhluk…

Lebih mulia menjadi hamba Allah. Sadar akan kekurangan diri adalah kunci ketundukan kepada Sang Khaliq. Kita sering diperbudak oleh ‘rayuan-gombal’ makhluk-makhluk Allah. Kita ingin terus di-service oleh para makhluk. Padahal, tidak ada pelayanan yang lebih baik dari pelayanan Allah. Kapan dan di mana saja, Allah siap menjadi ‘pelayan’ kita. Kuncinya di kita. Paradoks memang. Di satu sisi kita sadar bahwa pemberi nikmat dan kemuliaan Allah. Di sisi lain kita malah ‘bersyukur’ kepada selain-Nya. Kita bahkan ‘tega’ dan ‘nekat’ untuk memuliakan orang, benda, pihak, instansi dan organisasi yang –menurut kita–telah banyak mengangkat ‘derajat’ kita. Nikmat Allah hilang dari file-syukur kita. Mind-set sudah menyatakan bahwa Allah itu tidak ada apa-apanya. Acuh tak acuh terhadap keadaan kita. Tapi cobalah pikirkan! Siapa sebenarnya yang acuh tak acuh dan bersikap masa bodo bahkan cuek-bebek. Kita atau Allah?

‘Bermesraan’ dengan Makhluk…

Menyedihkan orang yang berbuat seperti itu. Allah yang menciptakan kita. Sejak kita belum ada sampai ada, semuanya adalah sikap lembut dan kasih sayang Allah kepada kita. Kita sering “arogan”, emosional, bahkan ‘jengkel’ kepada Allah. Kita lebih suka untuk ‘bermesraan’ dan bersikap ‘sopan’ kepada makhluk-makhluk ciptaan Allah. Terbalik. Kita selalu bersikap oportunis. Memuakkan memang. Tapi itulah realitanya. Kita sering melupakan kasih sayang Allah, untuk meraih kasih sayang selain-Nya. Allah itu Maha Lembut. Allah itu al-Rahmân dan al-Rahîm. Berapa banyak kita menyadari hal itu?

(Medan, Selasa: 20 Nopember 2007)