Jumat, 05 Maret 2010

Islam dan Pemeliharaan Lingkungan

Islam dan Pemeliharaan Lingkungan:
Pandangan Normatif-Teologis

Pemeliharaan lingkungan (Arab: himāyat al-bī’ah) dianggap sebagai satu tugas penting dalam pandangan masyarakat dunia, khususnya Islam. Karena, menurut Islam, lingkungan adalah “kehidupan”. Tanpanya siapa dan apa pun tak dapat hidup dan melangsungkan kehidupan. Di samping itu, lingkungan bukan untuk digunakan oleh generasi saat itu, namun akan diwariskan kepada generasi yang akan datang. Oleh karena itu, Islam memiliki concern khusus terhadap pemeliharaan lingkungan. Maka, Al-Qur’an melarang manusia untuk berbuat kerusakan di muka bumi setelah dipeliharai dan dijaga (Qs. Al-Aʻrāf [7]: 85). Kerusakan lingkungan dalam kacamata Islam bukan hanya dianggap sebagai bahaya biasa, melainkan upaya ‘menukar’ nikmat Allah menjadi kekufuran. Untuk itu dibutuhkan keseimbangan ekologi (ecological balance, Qs. Al-Hijr [15]: 19).

Islām dan Keseimbangan Ekologi
Dalam Islam, alam raya diciptakan secara serasi dan seimbang (Qs. 82: 7, Qs. 67: 3). Karena keseimbangan dan keserasian agar dijaga oleh manusia. Agar alam raya (langit dan bumi beserta isinya) benar-benar tepat guna, tidak sia-sia (Qs. 38: 27). Allah menciptakan makhluk-Nya di alam raya ini untuk melakukan hubungan keterkaitan. Karena bila salah satu makhluk hidup mengalami gangguan, makhluk lain yang berada pada lingkungan itu akan ikut (merasa) terganggu pula. Maka yang lahir adalah ketidakseimbangan ekologi. Agar hal itu tidak terjadi, Islam menganjurkan agar manusia memelihara lingkungannya, supaya tidak terjadi kerusakan.
Untuk memelihara agar alam raya (lingkungan) tidak mengalami kerusakan, Allah pun menjadikan manusia sebagai wakil-Nya (khalifah) di bumi (Qs. 2: 30). Oleh karenanya, agama Islam, menurut Quraish Shihab, mengaskan pula bahwa bahwa manusia ditugaskan Tuhan menjadi khalīfah di bumi ini (Qs. 2: 30). Kekhalifahan ini memiliki tiga unsure yang saling berkait, kemudian ditambah unsur keempat yang berada di luar, namun amat sangat menentukan arti kekhalifahan dalam pandangan Al-Qur’an. Ketiga unsure pertama adalah:
Pertama, manusia, yang dalam hal ini dinamai khalīfah; kedua, alam raya, yang ditunjuk oleh Allah dalam Qs. 2: 21, sebagai “bumi”; ketiga, hubungan manusia dengan alam dan segala isinya, termasuk dengan manusia (istikhlāf atau tugas-tugas kekhalifahan). Dengan unsur keempat yang berada di luar adalah yang member penugasan itu yakni Allah s.w.t. Dalam hal ini, yang ditugasi harus memperhatikan kehendak yang menugasinya (Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 2007: 460-461). Sebagai wakil Allah alias khalifah, manusia diharapkan mampu menjaga dan melestarikan keseimbangan ekologi. Tanpa keseimbangan ekologi ini, akan lahir beberapa bahaya yang serius, seperti: (1) pengubahan mendasar dalam iklim dunia (sekarang global warming), (2) penggundulan hutan, (3) meningkatnya panas bumi, (4) meningkatnya permukaan air laut, (5) deras air hujan yang berasam, (6) pengrusakan ozon, (7) dll. Karena dengan hilangnya keseimbangan ekologi, berarti manusia “khianat” terhadap tugasnya sebagai khalīfah (Qs. 6: 165 dan Qs. 11: 61).

Harmonitas Manusia, Hewan dan Tumbuhan
Manusia, harus mampu menjaga harmonitas segi tiga keseimbangan ekologi: dirinya (manusia), hewan dan tumbuhan. Manusia, seperti disinggung sebelumnya, adalah wakil Allah (khalīfah) di permukaan bumi (Qs. 2: 30). Karena sebagai khalīfah, maka dia harus bertanggungjawab terhadap apa yang dipimpinnnya, sebagai pengganti Allah dalam memelihara keseimbangan ekologi. Dia harus memahami fitrahnya yang mengerti maslahat dan kebutuhannya (Qs. 67: 14). Dengan akal yang diciptakan oleh Allah untuknya, dia bisa membekali diri dengan ilmu dan pengetahuan serta teknologi, supaya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan melaksanakan tugasnya tersebut (Qs. 7: 74).

Dengan bekal itu semua, manusia harus tampil sebagai sosok yang ‘ramah lingkungan’. Dalam Islam, khalīfah adalah ‘manusia hijau’. Yaitu sosok yang benar-benar melindungi dan memelihara lingkungan hidupnya. Dalam hal ini, konsep ihsān dapat dijadikan sebagai landasan normatif-teologis dalam menciptakan harmonitas manusia dan lingkungan hidup.
Dalam hadits Jibril yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa ihsān adalah “engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihat-Nya, ketahuilah bahwa dia –dalam ibadahmu—sedang melihatmu.” Ihsān disini dapat diartikan sebagai sikap ramah (baik), yang berarti melindungi dan memelihara dengan baik. Di sini, konteks ihsān dalam ibadah. Pemeliharaan lingkungan dapat menjadi ibadah, karena memelihara lingkungan yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Ketika lingkungan dipelihara dan dijaga dengan baik, maka dia menjadi ibadah di hadapan Allah.
Orang yang tidak mengerti konsep ini, akan merusak lingkungannya. Maka banyak terjadi penggundulan hutan besar-besaran, buang sampah sembarangan, dll. Akhirnya, erosi terjadi dimana-mana. Sungai-sungai banyak yang meluap dan merusak pemukiman masyarakat. Pada gilirannya, lingkungan tak lagi bersahabat dengan manusia. Ini akibat dari menjauhkan Allah dari ranah dan lini kehidupan.
Konsep ihsān yang kedua adalah dalam Qs. 4: 36. Dimana ihsān di sini dimaknai dengan memperhatikan, menyayangi, merawat, dan menghormati. Dalam konteks ini, Islam menuntut manusia agar memperhatikan, menyayangi, merawat dan menghormati lingkungan. Dua konsep ihsān tersebut pada realitanya memang diperlukan oleh manusia dalam konteks interaksi dengan lingkungan. Karena, memang, kita wajib memperlakukan lingkungan dengan cara melindungi dan menjaganya. Bukan malah kita remehkan, lalaikan, serta musnahkan. Jika ini yang berlaku, yang terjadi adalah kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dimana-mana. Itu semua, kata Allah, karena ulah tangan-tangan jahil manusia. Padahal, itu semua bukan azab mutlak, melainkan peringatan agar manusia merasakan hasil perbuatan jahilnya. Karena Allah berharap manusia-manusia jahil –terhadap lingkungannya—dapat kembali lagi (Qs. 30: 41).
Di samping itu, ihsān sejatinya adalah perbuatan baik yang tanpa batas. Artinya, perhatian terhadap segala sesuatu, baik hidup maupun mati, adalah tanpa perhitungan alias tak terhingga. Karena prinsip untuk bersikap lemah lembut berlaku bagi setiap elemen lingkungan, baik makhluk hidup maupun makhluk mati, serta yang berakal maupun yang tidak berakal. Dengan kata lain: prinsip untuk bersikap ihsān ini mencakup manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk mati. Oleh karena itu, Allah menginstruksikan kepada manusia, “…berbuat baiklah dengan tanpa batas (kepada makhluk yang lain), sebagaimana Allah juga berbuat baik tanpa batas kepadamu. Dan jangan lah kalian berbuat kerusakan di muka bumi (lingkungan hidup). Sungguh Allah tidak menyukai orang yang suka berbuat kerusakan.” (Qs. 28: 77).

Dalam menjaga dan memelihara keharmonisan manusia dengan lingkungan itu, Islam menganjurkan beberapa poin penting:
Pertama, penanaman pohon dan penghijauan. Hal ini, dalam Islam, digambarkan oleh tokoh Habil lewat konsep pertaniannya. Pesan tersiratnya adalah: bila ingin merasakan surga di akhirat, tanamlah pohon. Karena pohon yang ditanam, jika berbuah, kemudian dimakan oleh makhluk lain maka akan bernilai ibadah. Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w., “Apabila seorang Muslim menanam tanaman, kemudian tanaman itu dimakan oleh burung, manusia atau hewan, maka hal itu tersebut menjadi sedekah.” (Muttafaq ‘Alaihi).
Kedua, menjaga kebersihan. Berkaitan dengan konsep ini, Nabi s.a.w. menjelaskan, “Kebersihan adalah sebagian dari iman.” (HR. Muslim). Konsep kebersihan dalam Islam, amat luas, khususnya dalam masalah ibadah (shalat, thaharah, dlsb, Qs. 5: 6, 74: 4). Khusus kebersihan lingkungan dan alam sekitar, Rasulullah s.a.w. menjelaskan, “Iman itu adalah enam puluh sampai tujuh puluh cabang, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan.” (HR. al-Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah).
Ketiga, menjaga sumber kekayaan alam. Dalam hal ini, Al-Qur’an melarang keras manusia untuk merusak lingkungan (Qs. 2: 26-27). Dan salah satu sumber kerusakan itu adalah menyerahkan urusan –dalam hal ini pengelolan sumber daya alam—kepada yang tidak ahli. “Apabila diserahkan urusan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya.” (HR. al-Bukhari-Muslim). Kerusakan di bumi ialah menjadi akal sebagai pengendali atau pengatur dan tidak memperhatikan timbangan alam yang telah diciptakan oleh Allah. Kasus dalam masalah ini sangat banyak, riil dan konkrit. (Lihat, Tim Safir Al-Azhar & Bapeldasu, Pesan Maha Hidup tentang Lingkungan Hidup, 2007: 3-8).
Dengan mencermati dan melaksanakan pesan-pesan ‘hidup’ dan ‘hijau’ dari Islam, lingkungan dapat kembali ramah, baik dan bersahabat dengan manusia. Wallahu a’lamu bi al-shawab.




Sabtu, 26 Desember 2009

STANDAR GANDA HAM BARAT

Adalah tanggal 10 Desember 1948 dianggap sebagai 'The Declaration of the Human Rights'. Menurut seorang penulis, pemikir dan sejarawan Islam, Tharîq al-Basyarî, ide HAM tersebut telah didahului oleh Amerika pada perang kemerdekaan atas Inggris pada bulan Juli 1776. Mereka menyatakan bahwa manusia telah dilahirkan oleh ibu mereka dalam keadaan setara dan menyatakan bahwa hak manusia itu terimplementasi dalam tiga hal: hak hidup, kebebasan dan persamaan. Setelah itu pecahlah Revolusi Perancis pada bulan Agustus 1789 yang memploklamirkan HAM: manusia dilahirkan merdeka dan memiliki kesamaan hak (Jurnal Al Resalah, edisi (12) Rajab-Sya`bân 1425 H/Agustus-September 2004: 2)


Itulah, menurut M. Fethullah Ghulan: seorang pemikir Turki sebagai bentuk "demokrasi liberal modern". Ia menyatakan: "Democratic ideas stem from ancient times. Modern democratic liberal was born in the American (1776) and French Revolution (1789-1799) (The Fountain, Turkey, M. Fethullah Ghulan: Essays, Perspectives, Opinions, 2002: 15). Tanggal 10 Desember 1948 itulah kemudian dijadikan sebagai tonggak sejarah HAM di muka bumi. Meskipun sebenarnya ide tersebut adalah hasil 'plagiarisme' dari ungkapan Umar bin Khattâb.


Sejatinya, berbicara seputar HAM sama artinya berbicara tentang 'Persamaan Hak'. Namun, hak tersebut di Barat tidak 'mengedepankan' 'esensi' persamaan itu sendiri. Diskriminasi malah banyak terjadi di mana-mana. Hingga hari ini, isu diskriminasi di Barat tetap terjadi. Sebut saja di Amerika: orang kulit hitam tidak akan pernah diperlakukan sama dengan kulit putih. Para wanita tetap akan menjadi 'makhluk kelas dua' dalam kehidupan sosial. Fenomena ini justru mengindikasikan bahwa Barat sejatinya mengidap penyakit 'dualism-democratic' (demokrasi-dualisme): di satu sisi ingin mengekspor ide HAM, namun di sisi lain justru mereka yang menginjak-injak HAM mereka sendiri.


Negeri Paman Sam adalah negeri yang paling getol menyuarakan demokrasi, kebebasan, memerangi terorisme, menghancurkan diktatorisme, dsb. Namun pada kenyataannya, merekalah aktor utama dalam melanggar kode etik demokrasi, memasung kebebasan di Irak, dan menciptakan terorisme. Ide-idenya dibungkus dalam mega-proyek The Great Middle East.


Contoh lain adalah apa yang terjadi di Uni Eropa. Sampai hari ini, Turki merupakan negara yang dijadikan 'bulan-bulanan': niatnya untuk bergabung ke dalam Uni Eropa masih tergantung. Alasannya hanya satu: Tukri pernah menjadi pusat kemajuan Islam, Turki Utsmani. Tentu saja 'kebebasan' di sini tidak terealisasi, dan dapat dipastikan bahwa Barat adalah 'negara ular' yang banyak 'menanam tebu dibibir mereka'.


Islam sebagai alternatif

Rasanya tidak salah ketika Murad Wilfried Hofmann menyatakan bahwa 'Islam the Alternative'. Manusia dalam Islam, menurut Ghulan, dengan mengutip hadits Nabi saw seperti "gigi sebuah sisir" (the teeth of a comb). "Islam doesn't discriminate based on race, color, age, nationality, or physical tratis. The Prophet say: "You are all from Adam, and Adam is from earth. O servants of God, be brothers (and sisters). Oleh karena itu, menurutnya, siapa yang lebih dahulu lahir, dialah yang akan memiliki banyak kekayaan (wealth) dan kekuasaan (power) dari yang lainnya...(Ibid). Fakta ini tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, bahkan oleh negara Barat sendiri.


Dalam sebuah karyanya tentang negara Pakistan, Rushprook Williams menyatakan tentang tradisi Islam: "Tradisi-tradisi Islam mencakup prinsip-prrinsip persamaan diantara roh manusia di hadapan Allah dan mengakui hubungan darah persaudaraan dunia tanpa melihat ras ataupun warna kulit. Sebagaimana juga mengakui adanya pembelaan dan perlindungan terhadap yang lemah dari pihak yang berlaku zalim kepadanya, membantu orang-orang yang kekurangan, kehilangan haknya, dan orang mengorbankan kehidupannya dalam menempuh jalan yang lurus." Hal ini juga diakui oleh penulis terkenal J. Weills di dalam bukunya yang terkenal Short History of the World. Ia menyatakan: "Tampaknya unsur kekuatan ketiga termanifestasi dalam tekad bulat umat Islam yang menyatakan bahwa kaum beriman adalah bersaudara yang memiliki persamaan di hadapan Allah, meskipun warna kulit, asal-usul dan tempat tinggal mereka berbeda-beda." (Rajae `Atheya, `Alamiyah al-Islâm, 2003: 240-241).


Rasanya tidak ada lagi alasan yang harus dikemukakan. Dunia harus menolak HAM Barat yang sudah 'lapuk' dan ketinggalan zaman itu. Bukankah dua pemikir Barat di atas sudah representatif untuk mengakui HAM dalam Islam? Wa syahida syâhidun min ahlihâ = dan seorang saksi dari keluarganya memberikan kesaksian (Qs. 12: 26).

MUSLIM BENAR VERSUS MUSLIM SALAH

Muslim Benar versus Muslim Salah, demikian saya memberi judul refleksi dalam mengkounter judul refleksi Luthfi Assyaukanie dalam bukunya “Islam Benar versus Islam Salah” (Kata Kita, 2007).

Dalam bukunya itu, Luthfi menulis: “Pada akhir tahun 2005, mantan presiden Abdurrahman Wahid menulis sebuah artikel di Wall Street Journal dengan judul Right Islam versus Wrong Islam. Tulisan itu kemudian diterbitkan ulang di beberapa koran ternama seperti New York Times dan Washington Post, serta dimuat di ratusan website penting. Tulisan Gus Dur itu sangat relevan untuk kita baca dan renungkan kembali akhir-akhir ini di saat kaum Muslim terbelah dalam menyikapi penangkapan teroris Abu Dujana. (Luthfi, 2007: 129).

Menurutnya juga, ajakan Gus Dur itu sangat penting di tengah kebingungan dan pertanyaan banyak orang tentang kekerasan yang dilakukan dengan mengatasnamakan Islam. Bagi Gus Dur, masalah itu sangat sederhana jawabannya. Islam pada dasarnya adalah agama damai. Kata “Islam” sendiri berarti perdamaian. Dengan demikian, jika ada ajaran atau perilaku yang bertentangan dengan makna dasar Islam tersebut, maka itu pasti keliru. (ibid: xvi).

Hemat saya, penggunakan istilah “Islam Benar, Islam Salah” adalah salah kaprah. “Islam” tetap benar, tidak ada Islam salah. Sejak zaman nabi Adam as hingga nabi Muhammad SAW Islam tetap agama yang benar, tidak ada Islam salah. Yang salah adalah cara pandang seorang Muslim terhadap Islam. Sehingga muncullah istilah Islam “teroris”, radikal, liberal, progresif, substantif, dlsb. Semuanya mengatasnamakan Islam. Padahal itu bukan Islam, hanya cara pandang terhadap Islam. Islam tetap satu: “Islam Benar”. Maka, lebih tepat menurut saya adalah istilah “Muslim Benar, Muslim Salah” (Right Muslim versus Wrong Muslim).

Luthfi juga terlalu melebar ketika membahas “kebenaran dan kesalahan”. Dia mencatat: “Kebenaran dalam agama bersifat relatif, karena ia dibatasi oleh logika dan paradigma pemeluk agama tertentu. Apa yang orang-orang Islam yakini benar belum tentu benar menurut orang-orang Kristen. Begitu juga apa yang dianggap benar menurut orang-orang Kristen bisa jadi salah menurut orang-orang Islam. Namun demikian, ada kebenaran dalam agama yang tidak relatif, yakni kebenaran yang mengandung nilai-nilai universal. Kebenaran ini bukan hanya benar menurut kaum Muslim, tapi juga benar menurut penganut agama-agama lain, bahkan menurut orang-orang yang tidak beragama.

Salah satu contohnya adalah kemerdekaan untuk beragama dan tidak beragama. Ini adalah nilai moralitas dalam Islam yang sangat tinggi dan universal. Al-Qur’an secara jelas menyebut hal ini dengan mengatakan “tidak ada paksaan dalam beragama” (QS. 2: 256) dan “bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS. 109: 6). (ibid: xii-xiii).

Tentu saja demikian. Konsep tauhid dalam Islam jelas berbeda dengan konsep ketuhanan dalam Kristen dan Yahudi. Tidak mungkin disatukan konsep “Trinitas” (Kristen), Yahweh (Yahudi), Trimurti (Hindu) dengan konsep “Tauhid Islam”. Agama manapun akan menolaknya dengan keras. Jadi kebebasan beragama atau bahkan memilih atheisme bukan dalam ranah nilai-nilai universal. Itu adalah bentuk “toleransi tingkat tinggi” yang ada di dalam Islam. Itu sudah ada sejak Nabi SAW berada di Mekah.

Qs. 2: 256 pun sejatinya merupakan “sindiran tegas” bagi mereka yang benar-benar berakal. “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama (Islam), karena sudah tampak dengan jelas ‘kebenaran’ (al-rusyd) dari ‘kesesatan’ (al-ghayy). Jika dipenggal ayatnya sampai laa ikraaha fiddiin, benar bahwa tidak ada paksaan dalam memasuki agama Islam. Tetapi Allah memberikan sindiran bagi siapapun yang ingin menentukan satu pilihan (agama), bahwa jalan hidayah (petunjuk) itu sudah jelas dari jalan kesesatan. Tinggal orang yang berakal sehat saja yang mau memilih agama apa sesuai seleranya. Islam adalah agama universal, bukan lokal apalagi dianggap tidak sesuai dengan zaman. Konsep rahmatan lil alamin adalah bukti bahwa Islam adalah agama universal (universe), untuk seluruh isi alam ini.

Dan Qs. 109: 6 adalah bukti ketegasan dalam “berakidah”. Dalam bermuamalah (interaksi sosial) Islam mengajarkan tidak ada ‘pilih bulu’. Silahkan bermuamalah dengan Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Chu, dslb. Tapi dalam berakidah, konsepnya mutlak: lakum dinukum wa liyadin). Tidak ada tawar menawar di sana. Ini bukan nilai-nilai universal.

Menurut Luthfi, fenomena Islam Salah telah ada sejak lama, namun baru menjadi gerakan massif sejak era modern, khususnya sejak tahun 1970an. Pada tingkat intelektual, fenomena ini ditandai dengan terbitnya buku-buku ideologis yang ditulis oleh para aktivis semacam Abul A‘la al-Maududi, Sayyid Qutb, dan Muhammad Qutb. Pada level praktis, Islam Salah disuarakan oleh gerakan politis semacam Ikhwanul Muslimin, Jamaah Islamiyah, dan Al-Qaeda. (ibid: xv).

Jadi, menurut Luthfi al-Maududi, Sayyid Qutb dan Muhammad Qutb adalah contoh real dari Islam Salah. Ikhwan, Jamaah Islamiyah dan Al-Qaeda juga bentuk dari Islam Salah. Kita tahu, bahwa tokoh-tokoh yang dianggap oleh Luthfi sebagai Islam Salah adalah orang-orang yang kritis terhadap peradaban Barat. Sayyid Qutb pernah ke Amerika. Sepulangnya dari sana dia mengkritik negeri Paman Sam habis-habisan. Luthfi tidak inginkan itu. Maka dia korek pemikiran Sayyid Qutb lewat Ma‘alim fi al-Thariq-nya. Dia juga menolak pemikiran Muhammad Qutb (adik kandung Sayyid Qutb) lewat bukunya Jahiliyah al-Qarn al-‘Isyrin (Jahiliyah Abad ke-20) (ibid: 160 dan 157). Luthfi baru ‘lega’ jika kedua pemikiran Muslim terkenal itu membungkukkan punggung mereka di hadapan peradaban Barat.

Luthfi mungkin lupa, bahwa Sayyid Qutb adalah seorang “as-syahid” yang berani dan mati-matian mempertahankan konsep pemikiran dan idenya. Bisa jadi keteguhan dirinya tidak sebanding dengan ‘biji sawi’ keimanan kita. Seorang pemikir progresif Mesir, Dr. Hassan Hanafi, dalam tulisannya al-Tafsir wa Mashalihul Ummah mencatat bahwa metode penafsiran Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur’an merupakan metode “reformis” (al-ishlah). Artinya, Hanafi mengakui bahwa Sayyid Qutb seorang “reformis”. Dan tidak adil jika perjalanan intelektualitas Qutb hanya dilihat sepotong-sepotong. Hanya lewat Ma‘alim fi al-Thariq. Sunnguh tidak adil.

Pemikiran Qutb bisa ditelusuri lewat al-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an, sebagai mukaddimah tafsir Fi Zhilal al-Qur’an. Konsep wordview Islamnya dapat diselisik dalam al-Tashawwur al-Islamiy wa Muqawwimatuhu. Konsep ekonominya dapat dilihat dalam buku kecilnya Tafsir Ayat al-Riba (Tafsir ayat-ayat Riba). Visi Islamnya jelas tergambar dalam al-Mustaqbal lihadz al-Din (Masa Depan Milik Agama Ini/Islam). Kehidupan Qutb jangan dilihat sepotong-sepotong, karena akan melahirkan ketidakadilan konklusi.

Muhammad Qutb juga demikian. Tidak bisa hanya dilihat dari Jahiliyah al-Qarn al-‘Isyrin. Konsep pembaruan Muhammad Qutb dapat dibaca dalam bukunya yang sangat mencerahkan, Qadhiyyah al-Tanwir fi al-‘Alam al-Islamiy (Isu Pencerahan di Dunia Islam). Di dalamnya dia mengusulkan pembaruan cara pandang terhadap akidah, politik, ekonomi, dlsb. Pemikirnnya yang mencarahkan, dapat juga dibaca dalam bukunya paling anyar, al-Mughalathat.

Kita benar-benar harus bersikap jurdil (jujur dan adil). Tidak boleh pakai sistem gebyah uyah. Dengan modal ‘jurdil’ ini, kita dapat melihat mana “Muslim Benar” dan mana “Muslim Salah”. Menyalahkan pemikiran orang secara membabi-buta, saya kira, merupakan gambaran pribadi “Muslim Salah”, karena dalam dirinya sudah ada perasaan sebagai “Islam Benar”.

(Medan, Kamis, 24 Januari 2008)

ISLAM PERDANA ATAWA ISLAM ORIENTALIS

Dalam bukunya “Islam Benar versus Islam Salah” (Depok: Kata Kita, 2007), Luthfi menulis satu refleksi dengan judul ‘Islam Perdana’. Apa yang dia maksud dengan “Islam Perdana”?

“Selama ini, kajian-kajian Islam awal, saya lebih suka menyebutnya sebagai “Islam Perdana”, banyak dilakukan oleh para orientalis. Sejak awal abad ke-19, para orientalis berusaha menyuguhkan asal-usul agama ini dari berbagai aspeknya, dari sejarah Muhammad (Arthur Jeffrey), sejarah Al-Qur’an (Thedor Noldeke), sejarah Hadis (Nabia Abott), dan sejarah Fikih (Joseph Schacht). Karya yang agak komprehensif tentang Islam perdana adalah buku Montgomery Watt berjudul The Formative Period of Islamic Thought.” (Luthfi, 2007: 41).

Luthfi seakan ‘menyesal’ karena banyak kajian tentang Islam perdana yang dilakukan kaum Muslim umumnya bersifat apologetis. Menurutnya, jika ada persoalan serius yang dikhawatirkan bakal mengganggu ketentraman beragama, kajian itu akan dihentikan atau ditafsirkan sedemikian rupa agar sesuai dengan keyakinan ortodoksi Islam. Dari kacamata ilmiah, pendekatan seperti ini tentu saja tak ada gunanya sama sekali.

Tapi dia memberikan pujian kepada beberapa penulis --yang menurut saya liberal, bahkan merusak konstruk pemikiran Islam--yang dia kagumi sebagai ‘orang-orang yang objektif’ dalam mengkaji Islam.

Luthfi menulis:

“Untunglah situasi ini berubah. Sejak beberapa tahun terakhir mulai muncul sarjana Muslim yang memiliki dedikasi kesarjanaan yang tinggi dan tumbuh dari latar belakang Islam yang kuat. Para sarjana Muslim seperti Mahmud al-Qumni, Khalil Abdul Karim, dan Zakaria Ouzon, adalah beberapa nama di antara puluhan nama lain yang mulai mengkaji dan membaca Islam perdana. (ibid: 43).

Tentang Ouzon, dia menulis: “Trilogi yang ditulis Ouzon, Jarimah al-Syafi‘i, Jarimah al-Bukhari, dan Jarimah al-Sibawaih, merupakan studi rintisan tentang para tokoh penting era pembentukan Islam yang dilakukan lewat pendekatan kritis. Selama ini tulisan-tulisan tentang Imam al-Syafi‘i atau Imam al-Bukhari dilakukan secara tidak kritis sama sekali. Buku-buku tentang tokoh-tokoh Islam ditulis sebagai karya hagiografi ketimbang biografi.” (ibid: 43).

Saya melihat, Luthfi memposisikan dirinya sebagai pengkaji ‘Islam Perdana’ lewat tangga-tangga yang dibangun oleh para orientalis dan pemikir liberal Arab. Dia lebih banyak menuduh kaum Muslim yang mengkaji sejarah awal Islam, ketimbang mengkritisi kajian beberapa sarjana Barat (orientalis) tentang Islam. Maka tidak heran, jika dia menyanjung Jeffrey, Schacht, Noldeke, dan Abott. Alih-alih mau bersikap “kritis” malah terjebak dalam logika para muqallid.

Jeffrey (1893-1959) bukan hanya menulis tentang Nabi Muhammad SAW. Sumbangannya yang sangat mahal, menurut para orientalis lain, adalah kajiannya tentang Al-Qur’an. Dia dianggap sebagai salah seorang orientalis yang menerapkan biblical criticism ke dalam studi Al-Qur’an dengan sederetan orientalis lainnya. (Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis, (Bandung: GIP, I, 2005). Begitu juga dengan William Montgomery Watt.

Jeffrey berpendapat bahwa sebagaimana manuskrip-manuskrip kuno Bibel memiliki berbagai perbedaan yang mendasar antara yang satu dan yang lainnya, dia menyimpulkan sebenarnya terdapat berbagai mushaf tandingan (rival codices) terhadap mushaf ‘Utsmani. (Adnin, ibid: 53). Sama dengan Jeffrey, Noldeke, seorang orientalis asal Jerman juga melakukan studi tentang sejarah Al-Qur’an, Geschichte des Qorans. Sama dengan studi Jeffrey, studi Noldeke pun tidak luput dari usaha ambisius dan tendensius. Kebanyakan para orientalis --menurut Luthfi sedikit jumlahnya--mengkaji Al-Qur’an tidak murni ilmiah. Mayaritas mereka menyembunyikan ‘niat busuknya’ lewat tameng ‘studi ilmiah’.

Kajian Abott tentang hadis tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya. Ignaz Goldziher dan Schacht, dalam mengkaji hadis lebih ‘ilmiah’ dibanding Abott. Meskipun begitu, Schacht juga masih ‘mengekor’ kepada studi Goldziher. Pandangan Goldziher tentang sunnah Nabi SAW pun “keliru”. (Lihat, Fazlur Rahman, Islam, (terj): Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1984: 54). Setelah Goldziher adalah D.S. Margoliouth, yang kemudian, menurut Rahman, diasumsikan oleh Schacht yang menyatakan bahwa nabi hampir-hampir tidak meninggalkan warisan apapun selain Al-Qur’an. (Lihat, Rahman, ibid: 56-57).

Di Indonesia, pemikir yang ditembus otaknya oleh orientalis adalah Harun Nasution. Gaya orientalisnya dalam memandang sunnah dapat dilihat dalam bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Penerbit UI Press, cet. kelima, 1985, jilid 1, hlm. 28-30). Tentang hadis Nabi SAW, Harun mencatat:

Karena hadits tidak dihafal dan tidak dicatat dari sejak semula, tidaklah dapat diketahui dengan pasti mana hadits yang betul-betul berasal dari Nabi dan mana hadits yang dibuat-buat. Abu Bakar dan Umar sendiri, walaupun mereka sezaman dengan Nabi, bahkan dua sahabat terdekat dengan Nabi tidak begitu saja menerima hadits yang disampaikan kepada mereka. Abu Bakar meminta supaya dibawa seorang saksi yang memperkuat hadits itu berasal dari Nabi, dan Ali bin Abi Thalib meminta supaya pembawa hadits bersumpah atas kebenarannya.

Dalam pada itu, jumlah hadits yang dikatakan berasal dari Nabi bertambah banyak sehingga keadaannya bertambah sulit membedakan mana hadits yang oriosinil dan mana hadits yang dibuat-buat. Diriwayatkan bahwa Bukhari mengumpulkan 600.000 (enam ratus ribu) hadits, tetapi setelah mengadakan seleksi, yang dianggapnya hadits orisinil hanya 3.000 (tiga ribu) dari yang 600.000 itu, yaitu hanya setengah persen.

Tidak ada kesepakatan kita antara umat Islam tentang keorisinalan semua hadits dari Nabi. Jadi berlainan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang semuanya diakui oleh seluruh umat Islam adalah wahyu yang diterima Nabi dan kemudian beliau teruskan kepada umat Islam. Oleh karena itu, kekuatan hadits sebagai sumber ajaran-ajaran Islam tidak sama dengan kekuatan Al-Qur’an.”

Pendapat dan kajian orientalis tentang sunnah pun sudah ‘dibabat habis’ oleh Prof. Dr. M.M. Al-A‘zami dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature (Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Pustaka Firdaus, III, 2006), [terj]: Prof. Dr. H. Ali Mustafa Ya’kub, M.A). Karyanya ini pun dipuji oleh Prof. A. J. Arberry dari Universitas Cambridge, Inggris. Beliau memberikan catatan: “No doubt the most important field of research, relative to the study of Hadith, is the discovery, verification, and evaluation of the smaller collections of Traditions antedating the six canonical collections of al-Bukhari, Muslim and the rest. In this field, Dr. Azmi has done pioneer work of the highest value, and he has done it according to the exact standards of scholarship. The thesis wich he persented, and for which Cambridge conferred on him the degree of Ph.D., is in my opinion one of the most exciting and original investigations in this field of modern times.” (Azami: vi).

Studi Abott tentang pernikahan Rasul SAW dan A‘isyah dijadikan sebagai landasan orang-orang tak faham sunnah dalam mencerca Islam. (Lihat Abott, Aishah-The Beloved of Mohammed, Al-Saqi Books, London, 1985). Inikah yang dimaksud oleh Luthfi sebagai kajian yang baik tentang kajian terhadap ‘Islam Perdana’?

Kajian-kajian Ouzon terhadap Imam Syafi‘i, Imam al-Bukhari dan Sibawaih pun hanya dipenuhi oleh tuduhan tak berdasar. Sama dengan Nasr Hamid Abu Zayd dalam bukunya al-Imam al-Syafi‘i wa Ta’sis al-Aydiyulujiyah al-Wasathiyyah. Yang ada hanya tuduhan saja. Kata-kata yang digunakan oleh Ouzon pun adalah “jarimah”, kejahatan atau tindak kriminal. Apa benar ketiga ilmuwan hebat Muslim tersebut dianggap melakukan tindak kriminal karena telah membangun ilmu Islam (Ushul Fiqh, hadis dan Nawhu)? Sebelum Ouzon pun sudah terbit di Mesir (2004) satu buku yang berjudul Saqatha Sibawaih.

Tapi itulah, para pemikir (orientalis atau Muslim) yang disukai oleh Luthfi. Setiap pemikir yang mencoba mengobok-obok ajaran Islam, tetap dianggap sebagai pemikir ‘yang baik’. Karena menurutnya, memberikan kajian yang bermanfaat bagi ‘Islam Perdana’. Maka dipujilah para penulis liberal dan Marxis, seperti Ouzon, Nasr Hamid, Khalil Abdul Karim. Mungkin karena tulisannya bersifat “refleksi”, Luthfi tak bisa melihat pendapat para orientalis itu secara kritis dan objektif. Islam yang disuguhkan Luthfi dalam refleksinya adalah “Islam Orientalis”, bukan ‘Islam Perdana’ yang diinginkannya.

(Medan, Kamis, 24 Januari 2008)

JANGAN "HIJRAH" DARI AL-QUR`AN

Bagi Mukmin sejati, Al-Qur’an adalah way of life: pandangan dan rambu-rambu kehidupan yang sangat sempurna. Oleh karenanya, di dalamnya tidak ada keraguan (Qs. Al-Baqarah [2]: 2) sedikitpun. Sehingga, dia benar-benar menjadi petunjuk bagi orang-orang Mukmin yang “takwa”. Yaitu orang-orang yang tidak berlaku sombong; senantiasa bersikap qana‘ah (bersyukur terhadap nikmat Allah s.w.t. dengan menerima apa adanya); menjaga lisan dan lambungnya agar tidak menjadi ‘kran’ dan ‘lumbung’ harta yang syubhat (samar-samar hukumnya); dan mereka yang memiliki keyakinan yang menggumpal kepada Allah s.w.t.

Al-Qur’an adalah samudera yang ‘tak bertepi’. Dalam bukunya Jawahir al-Qur’an, Hujjatul Islam, Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H) bertanya: “Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah s.w.t., yang menurunkan segala pembuka kitab, serta shalawat kepada para Rasul-Nya yang menjadi pengunci setiap kitab; maka saya benar-benar menggugah tidur Anda, wahai orang yang selalu tekun membaca dan mengamalkan kajian Al-Qur’an. Anda, yang selalu menyelami makna-makna realitas dan globalnya, sampai kapan Anda mengarungi samudera sambil memejamkan mata dari keanehan-keanehannya? Ataukah Anda menaiki puncak-puncak gelombang untuk melihat keajaiban-keajaibannya? Apakah Anda telah mengembara sampai jazirahnya hingga menemui keindahannya? Apakah Anda menyelami dan mengarungi kedalamannya, untuk menemukan mutiaranya? Ataukah mata Anda tertutupi dari mutiara-mutiaranya, karena terpesona oleh ombak dan gemuruh fenomenanya? Sudah sampaikah kepada Anda, bahwa Al-Qur’an merupakan samudera maha luas?

Pertanyaan-pertanyaan di atas begitu menggelitik. Bahkan, kalau kita hayati kita akan merasa “malu”. Sangat malu! Benar-benar memalukan dan memilukan. Karena interaksi kita dengan Al-Qur’an tidak begitu ‘mesra’. Bahkan menyentuh kulitnya pun bisa jadi belum. Bagaimana mungkin kita akan berlayar di tengah-tengah samudera Al-Qur’an. Padahal, sebaik-baik seorang Muslim menurut Rasulullah s.a.w. adalah: “Sebaik-baik kalian adalah yang “mempelajari” Al-Qur’an dan “mengajarkannnya” kepada orang lain.” (HR. Bukhari, Tirmidzi dan Ahmad). Anehnya, dewasa ini justru umat Islam banyak yang acuh tak acuh terhadap Kitab Suci mereka. Al-Qur’an bagi sebagian mereka tidak jauh beda dengan “koran”. Na‘udzu billah min dzalik! Bahkan mereka lebih intens dan sering berinteraksi dengan “koran” ketimbang Al-Qur’an. Bagaimana mungkin pertanyaan-pertanyaan Imam al-Ghazali di atas dapat dijawab dengan jujur. Lalu apakah penyebab dari fenomena umat Islam yang semakin “jauh” dari Al-Qur’an ini? Jawabannya adalah: “Hijrah Al-Qur’an”. Ya, umat Islam sudah banyak yang ‘hijrah’ dari Al-Qur’an.

‘Hijrah’ dari Al-Qur’an?

Ya, ini fenomena umum dari umat Islam. Fenomena umat yang menyedihkan ini pernah diadukan oleh Rasul s.a.w. kepada Allah s.w.t. Kata beliau: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah ‘hijrah’ dari Al-Qur’an ini.” (Qs. Al-Furqan [25]: 30).

Hijrah dari Al-Qur’an ada tiga modelnya. Pertama, ‘hijrah’ bacaan. Banyak umat Islam sudah enggan untuk membaca Al-Qur’an. Walaupun membaca, belum tentu benar bacaannya. Jika benar bacaannya, belum tentu diamalkan. Meski diamalkan, belum tentu ikhlas dalam mengamalkannya. Banyak kemungkinan memang. Dan kemungkinan itu jelek semuanya. Membaca Al-Qur’an merupakan ‘gerbang’ awal untuk berinteraksi dengannya. Adalah mustahil dapat berinteraksi dengan Al-Qur’an, jika pintunya tidak pernah kita buka. Padahal, satu huruf Al-Qur’an, kata Nabi s.a.w., akan diganjar dengan “sepuluh” kebaikan oleh Allah s.w.t. “Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitab Allah (Al-Qur’an), ia memperoleh satu kebaikan, dan kebaikan itu diganjar sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan ‘Alif, Laam, Miim’ itu satu huruf. Melainkan Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi). Bahkan, menurut beliau, “Orang yang membaca Al-Qur’an dan dia pandai, dia bersama para malaikat yang baik dan mulia.” (HR. Tirmidzi). Masya Allah! Subhanallah!

Maka, merugilah orang-orang yang tidak mau menghampiri Kitabullah yang mulia ini. Jin saja ikhlas menghampiri Al-Qur’an (Qs. Al-Jinn [72]: 1), lalu kenapa kita tidak mau membacanya. Padahal Al-Qur’an itu untuk manusia (Qs. Al-Rahman [55]: 2).

Kedua, ‘hijrah’ tadabbur. Membaca saja tidak cukup. Bacaan harus diikuti dengan tadabbur-Qur’ani. Agar bacaan Al-Qur’an itu meresap ke dalam relung qalbu, maka ia tidak boleh hanya sekedar lewat lisan atau bibir pembacanya. Ia harus merayap masuk ke dalam qalbu. Agar sekat-sekat qalbu yang ‘kering’ dan kosong diisi oleh cahaya Kalamullah, ‘Firman Allah’ yang penuh keagungan dan mukjizat tak tertandingi ini. Untuk apa tadabbur Al-Qur’an? Menurut Allah s.w.t. agar kita benar-benar memahami secara mendalam bahwa Kitabullah ini seluruh ayat dan kandungannya benar-benar serasi dan harmonis. Tidak ada satu ayatpun yang kontradiktif (Qs. Al-Nisa’ [4]: 82). Selain itu, tadabbur-Qur’ani itu akan membuka ‘gembok-gembok’ qalbu (Qs. Muhammad [47]: 24). Dengan begitu, kita akan semakin yakin bahwa Al-Qur’an benar-benar the last testement. Yakni, perjanjian terakhir antara Allah, Nabi dan manusia. Sehingga, tidak ada yang lebih sempurna (kamil) dan komprehensif (syamil) dalam menyentuh sisi dan lini kehidupan manusia selain Al-Qur’an: sejak alam arwah (azali) hingga alam akhirat. Sungguh, bacaan Al-Qur’an yang diiringi dengan tadabbur mendalam akan melahirkan syawq (kerinduan mendalam) terhadapnya. Dengan begitu, qalbu akan terus merasakan siraman cahaya Ilahi lewat kitab-Nya. Sungguh indah memang!

Ketiga, ‘hijrah’ amal. Ya, bacaan dan tadabbur yang dilakukan oleh seorang Mukmin tidak akan berarti apa-apa jika tidak diaplikasikan dalam kancah kehidupan nyata. Apa yang telah dibaca dan ditadabburi harus diamalakan, jangan dibiarkan mengambang dan tak membumi. Di dalam Al-Qur’an ada perintah dan larangan. Ada rukun Islam. Baca, tadabburi lalu amalkan. Di dalamnya dijelaskan rukun iman. Baca, hayati, tadabburi dan amalkan. Di dalam Kitabullah ada perintah berbuat adil, ihsan (baik tanpa batas), melaksanakan amanah (jabatan), dll. Maka, baca, tadabburi kemudian amalkan. Kalamullah ini adalah gambaran “alam” dan “manusia”. Maka ia harus dibaca, ditadabburi dan diamalkan. Jika tidak, maka misi Allah tidak akan sempurna. Padahal Al-Qur’an berbicara tentang dua kitab besar: pertama, kitab terbuka, yaitu kosmos (al-kaun) alias alam. Dan kedua, Al-Qur’an. Jembatan antara keduanya adalah seorang “manusia Mukmin-Muttaqin”. Fungsi “manusia Mukmin-Muttaqin” adalah adalah khalifatullah (wakil Allah) di bumi. Maka dia harus melakukan ‘imaratul ardhi, memakmurkan bumi. Perintah itu tertuang dengan sempurna di dalam Kitabullah. Maka fungsi manusia tidak akan sempurna kecuali mengamalkan kandungan Al-Qur’an. Khalifah itu tidak boleh: curang, penzina, pemabuk, tidak adil, tidak sopan, tidak shalat, tidak peka lingkungan, tidak syahadat, tidak zakat, tidak puasa, tidak haji. Dan itu dapat diambil dari Kitabullah. Maka, jangan pernah mau ‘hijrah’ dari Al-Qur’an. Siapa saja yang ‘hijrah’ darinya, berarti menjauhi Rasul s.a.w. Dan tanpa dia sadari telah menjauhi Allah s.w.t. Pada gilirannya, hidupnya akan hampa: kering kerontang tak bermakna. Alangkah meruginya! Wallahu a‘lamu bi al-shawab. [Q].

KEWAJIBAN LEBIH BANYAK DARIPADA WAKTU

Semoga judul refleksi kali ini tidak membuat ‘nafas’ pembaca tersengal-sengal. Saya juga tidak bermaksud untuk membuat ‘lelah’ jiwa Anda semua. Demikianlah adanya.

Ini adalah satu realitas hidup. Dimana kita hidup dalam ‘lingkaran waktu’ yang sangat terbatas. Orang Arab menyatakan, “Al-Wajibat aktsaru minal Awqat” (‘Kewajiban kita lebih banyak dibandingkan waktu yang tersedia’). Ini perlu direnungkan. Prinsipnya adalah “menghargai” waktu. Bagaimana waktu yang singkat ini dapat di-manage sedemikian rupa, agar benar-benar terinvestasi dengan baik.

Pernah Anda mendengar orang yang mengeluh ketika mendengar seruan azan? “Aduh, kok cepat sekali sih azan Maghribnya!” kata seorang teman saya. Apa yang dia katakan adalah benar. Kenapa? Karena dia melaksanakan shalat Ashar pada pukul 18.00 WIB, sementara shalat Maghrib pukul 18.15 WIB. Bagaimana tidak cepat waktu itu.

Di sisi yang lain, ada teman yang mengeluhkan waktu karena dia merasa kekurangan. “Waduh, mana pekerjaan belum selesai lagi,” keluhnya kesal ketika lonceng berbunyi dan tugas dia belum selesai tapi harus diantar ke meja dosen.

Kewajiban “lebih banyak” dari waktu….

Rasulullah SAW adalah orang yang sangat mengerti ‘kaidah’ itu. Jika berjalan, menurut para sahabatnya, seolah-olah bumi ini digulirkan untuk beliau. Karena sanking cepatnya beliau berjalan, seolah-olah ada urusan penting yang harus segera diselesaikan. Kanjeng Nabi SAW tidak pernah terlihat tenang. Dia terus memikirkan Islam. Memikirkan umat ini. Beliau terus mencari ‘celah’ untuk menyampaikan dakwahnya kepada umat manusia. Bahkan, menjelang wafatnya yang dia ingat bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa selain “ummati, ummati”, umatku, umatku. Ya Rasulullah, semoga shalawat dan salam Allah tercurah kepadamu selalu.

Kaidah penting itu sering kita ubah dan kita balik. Kita merasa waktu ini begitu panjang dan banyak. Maka kita pun selalu berleha-leha. Pekerjaan yang menumpuk biasanya ‘dapat’ kita selesaikan lewat sistem “SKS” (Sistem Kebut Semalam). Tentu saja hasilnya tidak akan maksimal. Karena kita anggap waktu kita banyak, maka yang terjadi adalah penundaan amal. Shalat diakhirkan, karena –menurut kita–waktunya masih panjang. Bayar hutang ditangguhkan, karena kita ‘yakin’ dapat hidup kita 1000 tahun lagi.

‘Umar ibn ‘Abdul Aziz pernah tidak jadi istirahat, karena ditegur oleh anaknya. Ketika ingin merebahkan tubuhnya di atas dipan, anaknya bertanya, “Ayahanda, kenapa istirahat?” “Ia, tubuh ayah lelah sekali setelah seharian keliling melihat aktivitas dan keadaan umat ini,” jawab ‘Umar dengan mantap. “Ayah, cepat bangun dan keliling lagi. Lihat urusan umat!” kata anaknya. “Ayah mau rehat sebentar saja, setelah itu baru keliling lagi,” jawab ‘Umar. Apa kata anaknya kemudian? “Apakah ayah bisa menjamin katika ayah bangun masih hidup dan bisa melihat urusan umat Islam?” ‘Umar terperanjat mendengar pertanyaan anaknya ini. Dia langsung melompat dan memakai gamisnya kembali untuk keliling melihat keadaan umat Islam. Subhanallah!

Dimana posisi kita dibanding khalifah yang mulia itu? Sungguh, pekerjaan dan tugas kita untuk umat ini lebih banyak dibanding waktu yang disediakan oleh Allah. Semua itu butuh manajemen yang baik dan rapi. Jika kita, kita tidak akan pernah menghargai waktu yang ada. Allah sudah menggariskan bahwa manusia –siapapun orangnya–akan merugi, jika hari-harinya selama di dunia ini tidak diisi dengan: [1] peningkatan iman kepada Allah; [2] beramal saleh. Amal yang baik untuk kemaslahatan agama (Islam), keluarga, bangsa dan negara bahkan untuk dunia; [3] saling menasehati dalam menapaki ‘rel’ kebenaran; dan [4] saling menasehati dalam menetapi kesabaran. (Qs. al-‘Ashar: 1-3).

Dakwah Islam butuh orang-orang yang menghargai waktu. Pekerjaan butuh waktu yang di-manage dengan baik dan rapi. Amal kita pun butuh disediakan waktu yang cukup. Sekarang kita baru sadar, bahwa sudah banyak waktu yang kita hamburkan. Sekarang kita baru tahu, bahwa kewajiban kita seabrek. Sementara waktu hanya 24 jam saja yang disediakan oleh Allah. Itu belum dipotong waktu untuk mandi, makan, minum dan istirahat. Semoga Anda setuju dengan refleksi ini. Wallahu a‘lamu bi al-shawab.[]

“Ya Allah, jadikankah kami orang-orang yang sadar akan waktu. Bimbing kami agar terus dapat istiqamah beramal. Semoga waktu yang singkat di dunia ini menjadi waktu yang bernas, full dengan amal, penuh dengan kesalehan dan sarat ibadah kepada-Mu”

(Medan, Minggu: 04 Nopember 2007)

SEMUA WAJIB SEDEKAH

Suatu hari, seorang sahabat yang bernama Abu Musa Al-Asy‘ari hadir ke Masjid Nabawi untuk menemui Rasulullah SAW. Karena biasanya, seusai shalat Kanjeng Nabi SAW memberikan tausiah kepada para sahabatnya.

Kali itu, Nabi SAW dalam halaqahnya, berkata kepada para sahabatnya, “Setiap Muslim harus bersedekah!”

Seorang sahabat kemudian bertanya, “Wahai rasul, engkau kan tahu tidak semua orang memiliki harta. Bagaimana dia bersedekah?”

“Hendaknya dia bekerja, kemudian hasilnya untuk dirinya sendiri dan untuk bersedekah!” jawab Rasul.

“Bagaimana jika dia tidak mampu bekerja?” tanya orang itu dengan rasa ingin tahu.

“Hendaknya dia memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan pertolongan!” tegas Nabi SAW.

“Wahai rasul, bagaimana jika itu pun dia tidak mampu melakukannya?” tanya orang itu dengan penuh rasa ingin tahu.

“Hendaknya dia mengerjakan kebajikan dan menghindarkan kejelekan! Hal itu, bagi seorang Muslim, bernilai sama dengan sedekah!” jawab Rasulullah SAW.

Apa yang terbersit dalam benak Anda setelah membaca dialog Kanjeng Nabi SAW dengan seorang sahabatnya itu? Mungkin macam-macam yang muncul. Yang jelas, menurut saya, sedekah itu gampang. Pilihannya cuman satu di antara dua: like or dislike. Mau atau tidak. Ya, itu saja.

Kita juga sepakat dengan pendapat sahabat tersebut bahwa tidak semua orang diberi kelebihan rezki oleh Allah SWT. Maka alternatifnya adalah: kita harus bekerja sekuat tenaga kita. Hasilnya, kita makan dan kelebihannya dapat kita sedekahkan. Jika ini pun tidak mampu kita lakukan, kita harus jeli terhadap orang di sekeliling kita. Mungkin ada nenek tua yang ingin menyebrang, kita harus sigap dan cepat tanggap. Seberangkanlah dia ke tepi jalan. Mungkin ada orang yang minta diangkatkan kopernya ke atas angkot, kita harus buru-buru menolongnya. Ini juga cara sedekah, kata Kanjeng Nabi SAW.

Jika itu pun tidak bisa, maka yang harus kita lakukan adalah “berbuat baik”. Apa saja, yang penting baik. Dan, kita harus dapat memelihara jiwa kita agar tidak terjerumus kepada perbuatan yang tidak baik. Karena itu adalah bentuk “maksiat” kepada Allah SWT. Itu akan diganjar oleh Allah sebagai “sedekah”. Sungguh, pintu amal terbuka lebar dalam Islam. Sungguh, kita benar-benar ‘wajib’ sedekah.

(Medan, Kamis: 8 Nopember 2007)

“Ya Allah, ingatkan kami bahwa dalam harta kami ada hak orang lain. Tegur kami bekerja itu ibadah, hasilnya bisa disedekahkan. Ya Rabb, beri kami kesempatan untuk dapat menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Ya Allah, jadikan hati kami condong kepada kebaikan dan selalu terpelihara dari hal-hal yang mengotorinya”