Sabtu, 26 Desember 2009

TIGA GOLONGAN PENUNTUT ILMU

Saya baru membaca buku Hujjatul Islâm, Abu Hamid al-Ghazâlî (450-505 H), “Bidâyah al-Hidâyah”. Buku ini saya beli tanggal 29/01/07 di “Cairo Book Fair” tahun ini. Di buku ini saya menemukan pernyataan tentang “golongan penuntut ilmu” beliau yang sangat luar biasa. Hemat saya, kata-kata ini peru diperhatikan oleh setiap penuntut ilmu, agar jangan salah tujuan. Oleh karena itu, saya ingin share dengan para ikhwah sekalian. Semoga saja ada manfaatnya yang dapat kita aplikasikan. Apa kata beliau?

“Ketahuilah, semoga Allah merahmati Anda, bahwa manusia dalam menuntut ilmu itu terbagi ke dalam tiga golongan:

Pertama, seseorang yang menuntut ilmu untuk ‘mengumpulkan bekal’ di hari akhirat (al-Ma‘âd). Dia --dalam menuntut ilmu--tidak ada tujuan selain mencari ridha Allah dan “Kampung Akhirat”. Maka, dia termasuk kepada golongan orang-orang yang “sukses” (selamat).

Kedua, seorang penuntut ilmu yang tujuannya hanya untuk mendulang kehidupannya yang singkat (dunia). Dengannya dia mendapat kemuliaan (al-‘izz), kehormatan (al-jâh) dan harta. Dan dia mengetahui hal itu. Dalam hatinya dia merasakan ‘ketidaksehatan’ kondisinya dan “kehinaan” tujuannya. Ini termasuk ke dalam golongan yang berpetualang dalam bahaya. Jika ajalnya datang cepat sebelum dia bertaubat, dikhawatirkan akhir hidupnya menjadi tidak baik (“sû’u al-khâtimah”). Maka, dia tetap berada dalam bahaya keinginannya.

Jika dia diberi taufiq untuk bertaubat sebelum ajal menjelang; lalu dia ‘mengawinkan “amal” dengan “ilmunya” dan menyempurnakan kerusakan yang lalu, maka dia akan bertemu dengan kelompok yang “sukses” (iltahaqa bi al-fâ’izîn). Karena orang yang bertaubat dari satu dosa, kondisinya seperti orang yang tidak berdosa.

Ketiga, penuntut ilmu yang “dikuasai oleh setan”. Ilmunya dia jadikan sebagai alat untuk menumpuk harta; membanggakan kehormatan (al-tafâkhur bi’l-jâh); dan memamerkan kemuliaan dengan banyaknya pengikut. Dengan ilmunya dia masuk ke ‘pintu’ mana saja, untuk memuaskan ‘sasaran duniawinya’. Bersamaan dengan itu, dia menyembunyikan dalam dirinya bahwa dia di sisi Allah menempati satu posisi --posisi sebagai orang alim--, karena dia memakai atribut para ulama. Dia memakai formalitas mereka, seperti pakain (al-ziyy) dan logika (cara berpikir, al-manthiq), padahal ‘kerakusannya’ kepada dunia tampak secara zahir dan batin. Dia ini lah yang masuk ke dalam golongan orang-orang yang celaka dan orang bodoh yang tertipu, karena taubatnya terputus --tidak dapat diharapkan--karena dia mengira bahwa dirinya termasuk ke dalam orang-orang yang telah berbuat ihsan (mina’l-muhisnîn). Dia adalah orang yang lalai (ghâfil) dari firman Allah tabâraka wa ta‘âlâ: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan? Sungguh, kemurkaan besar di sisi Allah, kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan.” (Qs.Ghâfir [40]: 34-35).

Dia juga lah yang disinyalir oleh Rasulullah saw.: “Manusia selain Dajjal lebih kalian takuti --karena sangat halus geraknya-- dari pada Dajjal itu sendiri.” Rasul saw. ditanya: “Siapakah mereka wahai Rasulallah?” “Mereka adalah ulama-ulama yang jahat (‘ulamâ’ al-sû’i.” (Muslim: 5/145). Karena Dajjal tujuannya memang menyesatkan manusia (al-idhlâl). Dan seorang ‘âlim yang seperti ini --jika menyelewengkan manusia dari dunia lewat lisan dan tindakannya--maka dia adala propagandis mereka (manusia) untuk mengajak kepada duniawi lewat amal dan prilaku zahirnya. Dan ‘lisan zahir’ (prilaku zahir) itu lebih ‘pasih berbicara’ daripada ‘lisan omongan’ (lisân al-maqâl). Dan merupakan tabiat manusia, bahwa mereka lebih cenderung dan condong untuk mengikuti prilaku ketimbang perkataan.

Apa yang dirusak “Si Tertipu” itu lewat amalnya (aksi nyata, zahir) lebih banyak dari apa yang diperbaikinya lewat kata-katanya. Karena seorang yang bodoh (al-jâhil) tidak berani ‘menghampiri’ dunia, kecuali --karena dilihatnya--karena ulama berani melakukannya. Ilmunya menjadi penyulut para hamba Allah untuk bermaksiat kepada-Nya. Dan jiwanya yang bodoh menjadi sombong, sembari berangan-angan, memberi harapan kepadanya dan menyerunya agar Allah “memberikan kebaikan” lewat ilmunya. Juga, nafsu ammârah-nya memberikan khayalan kepadanya bahwa dia lebih baik dari para hamba-Nya.

Maka, wahai para penuntut ilmu, jadilah kelompok pertama. Dan hati-hati, jangan menjadi kelompok kedua. Berapa banyak orang yang menangguh-nangguhkan --yang selalu mengatakan niscaya saya akan....--dijemput oleh ajal sebelum taubat, maka dia merugi. Berhati-hatilah, dan berhati-hatilah, jangan sampai menjadi kelompok ketiga. Karena engkau akan celaka. Suatu kecelakaan yang tidak dapat --bersamanya--diharapkan keselamatanmu, dan kebaikanmu --untuk berubah menjadi baik--tidak dapat dinantikan.”

Subhanallah! Saya tertegun membaca petuah sang “Hujjatul Islâm” itu. Bukunya ini memang berbicara tentang bagaimana seseorang melakukan amal-amal yang menjadi ‘pintu masuk’ untuk meraih hidayah Allah. Untuk terhindar dari niat yang tidak baik dalam menuntut ilmu, buku ini merupakan panduan yang “sangat jitu” dan “manjur”. Bidâyah al-Hidâyah, ‘Awal Masuknya Cahaya Hidayah’, buku yang indah dan menakjubkan. Semoga kita dihindarkan oleh Allah dari niat yang tidak baik, tidak ikhlas dan tidak sejalan dengan syari‘at Allah dan petunjuk nabi-Nya dalam menuntut ilmu. Allâhumma’j-‘alnâ min ‘ibâdika al-mukhlashîn. Amin ya Rabba’l-‘Alamîn. [] [(Egypt, 12 April 2007)]

0 komentar:

Posting Komentar