Jumat, 05 Maret 2010

Islam dan Pemeliharaan Lingkungan

Islam dan Pemeliharaan Lingkungan:
Pandangan Normatif-Teologis

Pemeliharaan lingkungan (Arab: himāyat al-bī’ah) dianggap sebagai satu tugas penting dalam pandangan masyarakat dunia, khususnya Islam. Karena, menurut Islam, lingkungan adalah “kehidupan”. Tanpanya siapa dan apa pun tak dapat hidup dan melangsungkan kehidupan. Di samping itu, lingkungan bukan untuk digunakan oleh generasi saat itu, namun akan diwariskan kepada generasi yang akan datang. Oleh karena itu, Islam memiliki concern khusus terhadap pemeliharaan lingkungan. Maka, Al-Qur’an melarang manusia untuk berbuat kerusakan di muka bumi setelah dipeliharai dan dijaga (Qs. Al-Aʻrāf [7]: 85). Kerusakan lingkungan dalam kacamata Islam bukan hanya dianggap sebagai bahaya biasa, melainkan upaya ‘menukar’ nikmat Allah menjadi kekufuran. Untuk itu dibutuhkan keseimbangan ekologi (ecological balance, Qs. Al-Hijr [15]: 19).

Islām dan Keseimbangan Ekologi
Dalam Islam, alam raya diciptakan secara serasi dan seimbang (Qs. 82: 7, Qs. 67: 3). Karena keseimbangan dan keserasian agar dijaga oleh manusia. Agar alam raya (langit dan bumi beserta isinya) benar-benar tepat guna, tidak sia-sia (Qs. 38: 27). Allah menciptakan makhluk-Nya di alam raya ini untuk melakukan hubungan keterkaitan. Karena bila salah satu makhluk hidup mengalami gangguan, makhluk lain yang berada pada lingkungan itu akan ikut (merasa) terganggu pula. Maka yang lahir adalah ketidakseimbangan ekologi. Agar hal itu tidak terjadi, Islam menganjurkan agar manusia memelihara lingkungannya, supaya tidak terjadi kerusakan.
Untuk memelihara agar alam raya (lingkungan) tidak mengalami kerusakan, Allah pun menjadikan manusia sebagai wakil-Nya (khalifah) di bumi (Qs. 2: 30). Oleh karenanya, agama Islam, menurut Quraish Shihab, mengaskan pula bahwa bahwa manusia ditugaskan Tuhan menjadi khalīfah di bumi ini (Qs. 2: 30). Kekhalifahan ini memiliki tiga unsure yang saling berkait, kemudian ditambah unsur keempat yang berada di luar, namun amat sangat menentukan arti kekhalifahan dalam pandangan Al-Qur’an. Ketiga unsure pertama adalah:
Pertama, manusia, yang dalam hal ini dinamai khalīfah; kedua, alam raya, yang ditunjuk oleh Allah dalam Qs. 2: 21, sebagai “bumi”; ketiga, hubungan manusia dengan alam dan segala isinya, termasuk dengan manusia (istikhlāf atau tugas-tugas kekhalifahan). Dengan unsur keempat yang berada di luar adalah yang member penugasan itu yakni Allah s.w.t. Dalam hal ini, yang ditugasi harus memperhatikan kehendak yang menugasinya (Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 2007: 460-461). Sebagai wakil Allah alias khalifah, manusia diharapkan mampu menjaga dan melestarikan keseimbangan ekologi. Tanpa keseimbangan ekologi ini, akan lahir beberapa bahaya yang serius, seperti: (1) pengubahan mendasar dalam iklim dunia (sekarang global warming), (2) penggundulan hutan, (3) meningkatnya panas bumi, (4) meningkatnya permukaan air laut, (5) deras air hujan yang berasam, (6) pengrusakan ozon, (7) dll. Karena dengan hilangnya keseimbangan ekologi, berarti manusia “khianat” terhadap tugasnya sebagai khalīfah (Qs. 6: 165 dan Qs. 11: 61).

Harmonitas Manusia, Hewan dan Tumbuhan
Manusia, harus mampu menjaga harmonitas segi tiga keseimbangan ekologi: dirinya (manusia), hewan dan tumbuhan. Manusia, seperti disinggung sebelumnya, adalah wakil Allah (khalīfah) di permukaan bumi (Qs. 2: 30). Karena sebagai khalīfah, maka dia harus bertanggungjawab terhadap apa yang dipimpinnnya, sebagai pengganti Allah dalam memelihara keseimbangan ekologi. Dia harus memahami fitrahnya yang mengerti maslahat dan kebutuhannya (Qs. 67: 14). Dengan akal yang diciptakan oleh Allah untuknya, dia bisa membekali diri dengan ilmu dan pengetahuan serta teknologi, supaya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan melaksanakan tugasnya tersebut (Qs. 7: 74).

Dengan bekal itu semua, manusia harus tampil sebagai sosok yang ‘ramah lingkungan’. Dalam Islam, khalīfah adalah ‘manusia hijau’. Yaitu sosok yang benar-benar melindungi dan memelihara lingkungan hidupnya. Dalam hal ini, konsep ihsān dapat dijadikan sebagai landasan normatif-teologis dalam menciptakan harmonitas manusia dan lingkungan hidup.
Dalam hadits Jibril yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa ihsān adalah “engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihat-Nya, ketahuilah bahwa dia –dalam ibadahmu—sedang melihatmu.” Ihsān disini dapat diartikan sebagai sikap ramah (baik), yang berarti melindungi dan memelihara dengan baik. Di sini, konteks ihsān dalam ibadah. Pemeliharaan lingkungan dapat menjadi ibadah, karena memelihara lingkungan yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Ketika lingkungan dipelihara dan dijaga dengan baik, maka dia menjadi ibadah di hadapan Allah.
Orang yang tidak mengerti konsep ini, akan merusak lingkungannya. Maka banyak terjadi penggundulan hutan besar-besaran, buang sampah sembarangan, dll. Akhirnya, erosi terjadi dimana-mana. Sungai-sungai banyak yang meluap dan merusak pemukiman masyarakat. Pada gilirannya, lingkungan tak lagi bersahabat dengan manusia. Ini akibat dari menjauhkan Allah dari ranah dan lini kehidupan.
Konsep ihsān yang kedua adalah dalam Qs. 4: 36. Dimana ihsān di sini dimaknai dengan memperhatikan, menyayangi, merawat, dan menghormati. Dalam konteks ini, Islam menuntut manusia agar memperhatikan, menyayangi, merawat dan menghormati lingkungan. Dua konsep ihsān tersebut pada realitanya memang diperlukan oleh manusia dalam konteks interaksi dengan lingkungan. Karena, memang, kita wajib memperlakukan lingkungan dengan cara melindungi dan menjaganya. Bukan malah kita remehkan, lalaikan, serta musnahkan. Jika ini yang berlaku, yang terjadi adalah kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dimana-mana. Itu semua, kata Allah, karena ulah tangan-tangan jahil manusia. Padahal, itu semua bukan azab mutlak, melainkan peringatan agar manusia merasakan hasil perbuatan jahilnya. Karena Allah berharap manusia-manusia jahil –terhadap lingkungannya—dapat kembali lagi (Qs. 30: 41).
Di samping itu, ihsān sejatinya adalah perbuatan baik yang tanpa batas. Artinya, perhatian terhadap segala sesuatu, baik hidup maupun mati, adalah tanpa perhitungan alias tak terhingga. Karena prinsip untuk bersikap lemah lembut berlaku bagi setiap elemen lingkungan, baik makhluk hidup maupun makhluk mati, serta yang berakal maupun yang tidak berakal. Dengan kata lain: prinsip untuk bersikap ihsān ini mencakup manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk mati. Oleh karena itu, Allah menginstruksikan kepada manusia, “…berbuat baiklah dengan tanpa batas (kepada makhluk yang lain), sebagaimana Allah juga berbuat baik tanpa batas kepadamu. Dan jangan lah kalian berbuat kerusakan di muka bumi (lingkungan hidup). Sungguh Allah tidak menyukai orang yang suka berbuat kerusakan.” (Qs. 28: 77).

Dalam menjaga dan memelihara keharmonisan manusia dengan lingkungan itu, Islam menganjurkan beberapa poin penting:
Pertama, penanaman pohon dan penghijauan. Hal ini, dalam Islam, digambarkan oleh tokoh Habil lewat konsep pertaniannya. Pesan tersiratnya adalah: bila ingin merasakan surga di akhirat, tanamlah pohon. Karena pohon yang ditanam, jika berbuah, kemudian dimakan oleh makhluk lain maka akan bernilai ibadah. Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w., “Apabila seorang Muslim menanam tanaman, kemudian tanaman itu dimakan oleh burung, manusia atau hewan, maka hal itu tersebut menjadi sedekah.” (Muttafaq ‘Alaihi).
Kedua, menjaga kebersihan. Berkaitan dengan konsep ini, Nabi s.a.w. menjelaskan, “Kebersihan adalah sebagian dari iman.” (HR. Muslim). Konsep kebersihan dalam Islam, amat luas, khususnya dalam masalah ibadah (shalat, thaharah, dlsb, Qs. 5: 6, 74: 4). Khusus kebersihan lingkungan dan alam sekitar, Rasulullah s.a.w. menjelaskan, “Iman itu adalah enam puluh sampai tujuh puluh cabang, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan.” (HR. al-Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah).
Ketiga, menjaga sumber kekayaan alam. Dalam hal ini, Al-Qur’an melarang keras manusia untuk merusak lingkungan (Qs. 2: 26-27). Dan salah satu sumber kerusakan itu adalah menyerahkan urusan –dalam hal ini pengelolan sumber daya alam—kepada yang tidak ahli. “Apabila diserahkan urusan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya.” (HR. al-Bukhari-Muslim). Kerusakan di bumi ialah menjadi akal sebagai pengendali atau pengatur dan tidak memperhatikan timbangan alam yang telah diciptakan oleh Allah. Kasus dalam masalah ini sangat banyak, riil dan konkrit. (Lihat, Tim Safir Al-Azhar & Bapeldasu, Pesan Maha Hidup tentang Lingkungan Hidup, 2007: 3-8).
Dengan mencermati dan melaksanakan pesan-pesan ‘hidup’ dan ‘hijau’ dari Islam, lingkungan dapat kembali ramah, baik dan bersahabat dengan manusia. Wallahu a’lamu bi al-shawab.